Wednesday, August 24, 2016

Solo To Cirebon

Seperti yang lainnya saya pun punya Bucket List tadinya sih judulnya “30 list” karena targetnya di usia 30 list itu sudah terpenuhi, tapi di umur 31 ini seperempatnya aja belom kesampean. Kenapa bucket list ini perlu?? Mengambil dari buku mas Agung Prasetyo berjudul menjaga Api, beliau berkata “tetaplah bermimpi, dan jika mimpi ini sudah terwujud carilah mimpi-mimpi yang lain untuk diwujudkan, untuk menjaga api dalam diri kita tetap berkobar. Api yang  memotivasi kita untuk terus bergerak” kira-kira seperti itu, nah pas baca bagian itu jlebbb banget rasanya, karena sepertinya “api” saya sudah mulai meredup. Jadilah saya membuat si 30 list tadi.

Dua hal diantara list tersebut adalah naik kereta keluar kota dan solo traveling. Iyaaaa cemen bgt kan keinginannya, biarin emang saya belom pernah. Bukan berarti saya ga pernah naik kereta sama sekali, karena saya adalah penggemar commuter line tapi yah itu tadi belum pernah naik kereta jarak jauh keluar kota, pengennnn banget rasanya. Kemudian Solo traveling disini maksudnya pergi ke daerah lain, nginep, bukan janjian atau ketemuan dengan temen di daerah tujuan, apalagi ke rumah saudara, tapi emang jalan aja sendirian. Akhirnya saya berhasil mencoret dua list tersebut. Tadinya sih pengennya ke Solo atau Jogja gitu, tapi karena waktu dan dana yang tidak memungkinkan, terpilihlah Cirebon untuk dikunjungi.

Beruntungnya seminggu sebelum berangkat pas banget saya baca banner di stasiun kereta, semenjak bulan agustus kereta menuju Cirebon berhenti di Bekasi, yeayyyy jadi ga perlu repot ke Gambir dulu. Padahal sebelumnya saya udah bingung duluan, mesti jam berapa ke Gambir dan ngambil ke kereta jam berapa ke Cirebon. Karena kalau ngambil kereta pagi harus berangkat sebelum subuh, perkiraan jam 4 pagi udah harus berangkat. Minta anterin suami ga mungkin, karena anak ga ada yang jagain, anaknya dibawa ga mungkin juga bisa nangis drama tak berkesudahan ngeliat emaknya pergi (karena pernah kejadian paksu nyenggol motor gara-gara ini). Pake taksi online kasian abangnya belom pada bangun. Begitulah keruwetan pikiran saya (rumit banget emang hidupnya). Tapi kalau berangkat dari Bekasi, minusnya ga ada kereta yang pagi banget, adanya mulai dari jam 09.30.

Berangkatlah saya ke Cirebon pada tanggal 12 Agustus 2016, sengaja ga pake sarapan. Noraknya saya, baru tahu sekarang di stasiun udah bisa self check in, tinggal masukkin kode booking di mesinnya, print boarding pass, udah beres ngga usah lama ngantri. Beli tiketnya juga ngga ngantri udah bisa online atau di Indo****t terdekat.  Saking senengnya ampe di kereta ga tidur, terus aja ngeliat jendela yang pemandangannya berubah dari perumahan-perumahan yang dempet dan sumpek menjadi hamparan hijau persawahan, gitu aja udah seneng.

Sekitar jam setengah 1 siang sampailah saya di Cirebon, disambut tukang-tukang becak yang terlalu antusias untuk ngambil penumpang, sampai ngikutin ke depan toilet.



 Alasan berangkat ga sarapan dulu soalnya mau makan kalap di Cirebon. Jadi sebelum memulai berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di Cirebon, makan dululah. Tujuan utama saya itu udah pasti Empal Gentong tapi untuk detail kuliner di post terpisah karena kalau dicampur bakal panjang banget (karena saya makan mulu). Tadinya mau makan yang dekat dari stasiun aja yaitu Empal Gentong krucuk karena udah tau harus naik angkot apa dan berhenti dimana. Tapi menurut temen saya paling enak itu Empal Gentong Bu Darma/ Mimi Tiyah, dan berhubung buta sama sekali soal Cirebon akhirnya saya memilih naik becak (mungkin tukang becaknya pada kesel yah, setelah tadi sok-sokan nolak jual mahal ujungnya naik becak juga) ternyata letaknya hanya berseberangan blok dari si empal gentong krucuk, kalau krucuk ke kiri, Bu Darma ke kanan.



Setelah kenyang saya memutuskan untuk pergi ke Keraton Kanoman, dari seberang empal gentong Bu Darma cukup naik angkot D2 dan berhenti di depan gapura pasar Kanoman. Karena sempet bingung nyari keraton tapi kok yah ini pasar, jadi ga sempet foto-foto di pasar, fokus nyari keraton. Memang harus nanya beberapa kali buat akhirnya nemuin keraton Kanoman.
Sebelum masuk ke keraton, mampir dulu ke Masjid Agung Kanoman, sebenarnya masjid ini tidak terlalu besar, tapi terlihat dari luar masjid yang didominasi warna hijau tua ini sangat bersih dan terawat. Padahal bisa dibilang bangunan ini termasuk bangunan tua.
Masuk ke Keraton kanoman, kesan yang saya dapatkan justru terlihat berantakan dan tak terawat. Rumput liar tumbuh tak beraturan, serakan daun-daun kering disana sini. Untuk tiket masuk ke museumnya dikenakan 7000 rupiah, tapi lagi-lagi yang saya dapatkan peninggalan barang yang tak terawat dan ruangan yang agak “spooky”. Karena diharuskan menggunakan guide untuk masuk ke dalam maka saya bergabung dengan dua orang bapak dan anak yang sedang melakukan penelitian skripsinya. Kecuali ruang dalem utama yang terlihat bersih,  kesan yang saya dapatkan di tempat lainnya tidak jauh beda dengan keadan lokasi sebelumnya yaitu berantakan dan tak terurus .








Pintu ukir yang menceritakan kapan Keraton Kanoman dibangun

Kolam batu disebelah kiri dan kanan singgasana merupakan sistem pendingin ruangan tradisional


Menurut guidenya disini terdapat Mesjid pertama di Cirebon tapi secara wisata atau sejarah tidak terlalu di expose. Pintu dari jaman dibangunnya masjid ini masih dipertahankan hingga sekarang






  Setelah ke Keraton Kanoman saya menuju ke Keraton Kasepuhan, menurut guidenya saya bisa mengambil jalan dari pintu belakang menuju jalan besar kemudian dari sana naik becak Rp.5000 saja. Sampai di Keraton Kasepuhan membayar tiket masuk Rp.15.000, sebelum masuk saya melihat rumah ini, suka banget, ukurannya pas dan terlihat nyaman.




Di depannya terlihat Siti Inggil yang dikelilingi batu bata merah. Kalau disini terlihat rapih dan sangat terawat baru sampai depannya aja saya udah suka. Mudah-mudahan ini bukan hanya karena ada acara Culture Fest yang akan berlangsung, dan hari itu malamnya akan ada acara pembukaan yang dihadiri oleh Sultan. 










Lanjut kedalam, untuk tempat barang-barang antiknya ga jauh beda dengan keraton kanoman. Disini tanpa saya mintapun sudah ada guide yang ngintilin, jadi mau ga mau ditemenin lagi.




Lukisan Prabu Siliwangi, kemanapun kita bergerak matanya akan mengikuti arah kita

Guide yang ini sedikit-sedikit menawarkan saya untuk berfoto, entah di Gapuranya, di sumur bandung, di tempat pertapaan dan lain-lain, tetapi saya menolak karena tampang saya udah pasti kucel karena keringetan, karena matahari saat itu tersenyum lebar. Semakin ke belakang saya semakin suka, walau panas tapi terlihat sangat asri






Akhirnya sang guide berhasil membujuk saya untuk foto disini beberapa kali, dengan diarahkan posisinya supaya “kuda” dibelakang saya terlihat.








Lanjut ke ruang dalam utama. Sayangnya sekarang ruangan ini sudah tidak terbuka untuk pengunjung, hanya bisa mengintip dari balik teralis jendela.




Setelah itu saya megunjungi satu ruangan lagi yang juga menyimpan benda-benda bersejarah









Karena saking sukanya ama tempat ini bahkan saya mengulang kembali berkunjung ke siti inggil.


Lingga Yoni





Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, bapak guide menyarankan saya untuk pergi ke pantai Kajawan begitu mengetahui saya akan pergi ke Goa Sunyaragi. Menurut beliau Goa Sunyaragi biasanya tutup jam 5 sore. Karena terburu-buru saya lupa menanyakan angkutan umum untuk menuju kesana, jadilah saya naik becak.

Kali ini saya mau puk-puk abang becaknya, ternyata dari Keraton Kasepuhan ke Gua Sunyaragi jauhhhhh banget, si abang becak pun terlihat ngos-ngosan dan saya beberapa kali meminta maaf kepada beliau karena bukan maksud ngerjain tapi saya emang ngga tau. Karena tidak ada penolakan sama sekali dari si tukang becak begitu mengetahui tujuan saya, biasanya kan becak  kalau tempatnya jauh bakal protes duluan kalau ga masang harga tinggi. Tapi emang becak di Cirebon baik-baik, selalu iya saja dan jarang protes harga. Dari beberapa kali saya naik becak selama di Cirebon hanya satu yang minta ongkos lebih itupun karena saya tahu orang dari luar kota.
Berhubung saya naik becak datangnya dari arah belakang tempat wisata Gua Sunyaragi jadi saya sudah bisa melihatnya, bikin ga sabar pengen cepet masuk karena tempatnya unik banget. Untuk masuk kesini harus membayar tiket sebesar Rp. 10.000.
Dari pintu masuk saya melewati amphitheater yang cukup besar. Kemudian barulah terlihat Gua Sunyaragi.
Gua Sunyaragi dikenal sebagai tempat peristirahatan atau tempat meditasi para Sultan dan keluarganya.



Sepertinya dari tiga tempat yang saya datangi ini yang paling saya suka. Disini seperti labirin kita tidak tahu jalan yang mana mengarah kemana atau ruangan yang sepertinya terpisah dari yang lain ternyata jika kita mengikuti jalan tertentu bisa mencapainya. Satu hal yang kurang saya suka cuma satu, pintu guanya sempit bangetttt, susah lewat buat badan kayak saya mesti dietnya kayaknya. Jadi saya kurang banyak masuk melewati pintu-pintu gua memilih lewat jalan luar.













Maaf kalau hasil foto saya kurang bisa menggambarkan keunikan Gua ini. Hari pun segera berganti malam, saya memutuskan untuk ke Hotel. Dari Gua Sunyaragi menuju ke Cirebon Superblock Mall dimana lokasi hotel saya berada, saya cukup satu kali naik angkot yaitu D3 Cuma untu nemu angkot D3 ini, saya harus jalan ke pertigaan yang katanya dekat. Ternyata harus jalan kurang lebih 30 menit untuk dapat angkot D3. Hotel yang saya tempati, lokasinya strategis dan terasa aman karena satu lingkungan dengan salah satu mall di Cirebon, udah pasti gampang cari makan. Dengan menggunakan salah satu aplikasi travel, per malamnya dihargai 200 ribu sudah termasuk sarapan. Saya cukup puas dengan hotelnya walau sprei dan sarung bantal sedikit kusam, tetapi untuk kebersihan cukup memuaskan. Malamnya karena bingung mau ngapain lagi, setelah makan malam saya memutuskan nonton di Mall sebelah.

Esok harinya saya masih punya waktu untuk berkunjung ke Batik Trusmi, setelah skip sarapan di Hotel dan memilih sarapan Nasi Jamblang. Setelah itu dengan menggunakan angkot GP saya menuju kesana. Sekitar 20 menit perjalanan saya sampai di kawasan Batik Trusmi, dari Gapura saya memilih berjalan kaki karena memang tidak terlalu jauh.







ahhh lantainya aja full batik

Kalau masuk sini sih bingung liat beragam warna dan corak kain, dengan berbagai variasi harga ada yang 100 ribu dapat tiga, adapula yang jutaan. Biar puas saya sampai keliling dua kali dari depan ke belakang. Akhirnya mutusin beli kemeja batik buat oleh-oleh anak saya yang udah ditinggal emaknya “me time”, kaos kaki batik dan sirup Jeniper (jeruk nipis peras), kenapa ga beli kain batiknya? Selain bingung milihnya, niat dalam hati pasti balik lagi ke Cirebon jadi belinya nanti aja.

Iseng-iseng masuk ke Batik Kitchen yang ada disebelahnya, karena dari kemarin belum ngopi jadi sambil menghabiskan waktu ngopi dululah.

latte art yg cukup gagal

Ok masih ada waktu, tadi menuju ke arah Trusmi saya ngeliat dua tempat makan yang juga sangat terkenal yaitu Amarta dan Haji. Apud. Karena belom kesampean makan sate kambing muda dan kecewa sama sarapan tadi pagi….jadilahh hajarrr ke Haji Apud. Beuhhhh puas lahir bathin lah makan sate kambing muda, tahu gejrot, dan ga lupa bungkus empal gentong oleh-oleh buat Pak Suami yang udah baik hati ngijinin ke Cirebon.






Begitulah short vacation ke Cirebon. Pastinya pengen balik lagi kesini, karena masih banyak list kuliner yang belom dicobain.

Buat yang mau ke Cirebon ada sedikit tips:
1. Bawa receh yang banyak, saya sengaja nuker 100 rb buat receh dan habis ga terasa. Buat angkotlah,becak, karcis masuk, tips buat guide dll. Standar tarif angkot dekat-jauh 4000 rupiah.
2   2.  Bawa Sunblock atau pakai topi, beneran mataharinya sangar….waktu nyari Keraton Kanoman saya lupa pakai, pas wudhu berasa perihnya muka kebakar, abis itu oles terusss
3    3.    Bawa Minum kalau perlu infused water (ini sih supaya ga terlalu ngerasa bersalah makan banyak di Cirebon)
4   4.  Kalau mau naik becak tanya dulu tarif standarnya ke guide atau orang sekitar

Cirebon..i’ll be back