Thursday, September 5, 2019

Sehari Melestarikan Tradisi di Sindangbarang





Siapa yang sering ngeliat anak kecil yang begitu denger lagu Blackpink, atau BTS langsung nyanyi dan joget ngikutin para idola tersebut? Sayaaaa…terus siapa disini yang sering ngeliat anak kecil nari jaipongan atau nyanyi lagu-lagu daerah macam Tokecang? Bukan sayaaa. Ada yang ngalamin kayak gitu juga?. Yah kalau ngeliat peristiwa ini, kayaknya tradisi Indonesia susah untuk bertahan yah apalagi regenerasi. Tapi itu rasa pesimis yang muncul sebelum saya menjejakkan kaki ke desa wisata Sindang Barang.

Desa Wisata Sindangbarang berada di daerah Bogor dari stasiun kereta Bogor sekitar 40 menit dengan menggunakan angkot. Jadi kalau mau dibilang daerah ini jauh dari modern, ya sudah tentu tidak. Saya kesana barengan dengan rombongan dari Id Corners.

Setelah naik angkot dan beberapa kali jalan nanjak karena angkotnya ngga kuat, sampai juga kita ke desa Wisata Sindangbarang. Begitu sampai kami disambut oleh alunan angklung gubrak. Karena kami datang berombongan, dari desa wisata pun sudah menyiapkan berbagai tarian tradisional untuk ditampilkan. Jadi begitu sampai, sudah terlihat anak-anak berlalu lalang dengan menggunakan kebaya dan kain.

Bercengkrama sebelum menari


Sebelum tampil

Mereka juga sama seperti anak zaman sekarang yang suka main gadget, terlihat ada beberapa anak yang asyik main handphone sambil menunggu giliran waktunya tampil sambil sesekali merapihkan pakaian dan dandanannya. Ada pula yang sedang asyik main Enggrang. Umur mereka pun bervariasi yang paling kecil berumur 5 tahun hingga paling besar berada di kelas 2 SMU, semuanya memiliki peranan dan keahliannya masing-masing. Inilah penampilan mereka:

Rampak Gendang




Kaulinan Barudak

Main Ucing-ucingan - taken with Fuji XT-100

Tari Mojang Priangan



Tari Merak



Parebut Seeng



Buat saya inilah bukti bukan berarti melestarikan tradisi mengenyampingkan kemajuan zaman, semuanya bisa berjalan beriringan. Bukan juga eksploitasi anak, ini hanyalah rasa ingin berpartisipasi dan terlibat dalam terbentuknya desa wisata. Anak-anak juga tidak dipaksa, mereka datang dengan suka rela mengikuti latihan yang ada di Sindang Barang secara gratis. Menurut Abah Ukat bukan masalah bagus atau jeleknya, tapi yang penting anak mau mengenal tarian atau permainan tradisional.
Lebih jauh lagi harapan beliau selain penanggung jawab sanggar juga sebagai pelatih silat Cimande. Pemuda-pemuda yang belajar silat juga dapat mendalami filosofi silat Cimande tersebut, yaitu menjaga hubungan antar sesama manusia, dan juga sang Pencipta. Sehingga mereka dapat mengendalikan diri dan menghindari tawuran antar pelajar.

Melestarikan Tradisi Ala Saya
Dulu saya memang pernah belajar nari jaipong namun itu juga adalah untuk persyaratan nilai muatan lokal di sekolah, setelah lulus ya sudah berlalu begitu saja. Namun walau begitu di benak saya tetap masih tersimpan kenangan tersebut. Terus kalau sekarang apa yang saya lakukan untuk melestarikan tradisi?

Salah satunya yah ini, berkunjung ke desa wisata kemudian menuliskan, mengabadikannya lewat foto dan menyebarkannya lewat social media. Beruntung dalam perjalanan kali ini Id Corners juga memberikan workshop mengenai travel photography dan travel blogging yang dipandu oleh Uni Raiyani dan mbak Donna Imelda.

Uni Rai memberikan materi fotografi


Mbak Donna Imelda memberikan materi penulisan - Taken with Fuji XT 100


Dari materi yang disampaikan oleh Uni Rai, saya mendapatkan perspektif baru dalam mengambil sebuah foto yang biasanya hanya eye level, namun kami diajak untuk mencoba angle-angle lainnya, yang hasilnya saat foto banyak adegan nunduk  bahkan tiarap bersama. Sedangkan dari mbak Donna kami belajar untuk meresapi dan memperhatikan lingkungan dimana kami berada dan menuangkannya melalui tulisan. Tidak melulu soal fakta, walau memang data dan fakta itu penting,  tapi juga bagamana memasukkan unur emosi dan perasaan ke dalam sebuah tulisan.

Selain itu kami semua berkesempatan mencoba kamera Fuji. Saya kebagian yang kamera Fuji XT100 Karena yang akan kami foto adalah objek yang terus menerus bergerak, rasanya kalau harus manual akan membuat kesulitan dan kita akan kehilangan moment. Ngga mungkin kan penarinya kita suruh stop dulu trus pose. Jadi kamera Fuji yang kami coba disetting ke aperture priority. Jadi kita tidak perlu lagi memikirkan settingan lainnya, karena sudah automatis mengikuti. Masalah tiarap tadi kebetulan karena terbentur perut jadi saya ngga banyak tiarap juga. Namun bukan berarti saya ngga bisa foto low angle, karena saya memanfaatkan keuntungan LCD flip yang dimiliki oleh kamera Fuji XT 100. Jadi cukup kameranya aja yang tiarap, sayanya ngga usah.


Menjajal kamera Fuji sambil mencoba mendapatkan angle terbaik

Menarikan Tokecang - taken with Fuji XT-100

Silat Cimande - Taken with fuji XT 100

Sebelum melanjutkan ke lokasi berikutnya, kami makan siang terlebih dahulu. Walau sebelumnya saat datang kami sudah disediakan cemilan tradisional termasuk minum bandrek, tapi kalau buat saya rasanya masih kurang kenyang. Jadi  dengan lahap kami makan siang bersama, psssttt sambelnya enak banget loh.

Penganan pagi hari + Bandrek

Makan siang lengkap

Berburu Ulat Sutera
Kegiatan melestarikan tradisi ini tidak hanya sampai di Desa Wisata saja. Kami juga diajak untuk melihat langsung pembuatan kain sutera. Sambil menuju kearah sana saya melihat anak-anak yang tadi tampil menari sudah berganti pakaian biasa dan sedang asyik main roller blade. Lagi-lagi kepesimisan saya terkikis, karena pada dasarnya anak-anak memang suka bermain, apa pun bentuknya baik yang kekinian maupun tradisional. Asalkan kita terus menerus mengenalkannya pada mereka, syukur-syukur kalau mereka akhirnya lebih senang bermain di lapangan daripada di rumah dengan handphonenya.

Lalu sampailah kami di “Rumah Sutera” satu-satunya produsen kain sutra yang ada di Kota Bogor. Lokasinya sangat menyejukkan mata, karena sangat asri dengan berbagai tanaman yang ditata rapih disana-sini. Eh tapi sebelumnya, sudah tahu kan kalau kain sutera itu dibuat dari ulat sutera?.

Pertama-tama kami diajak berkunjung ke ladang Murbei, yang merupakan makanannya para ulat sutera. Disini hanya menanam 4 jenis pohon murbei, yang merupakan kualitas terbaik. Kemudian selanjutnya kami melihat ulat-ulat yang sedang dalam proses kokon. Kalau sudah terbentuk kokon kemudian dipanen dan dibersihkan.

Ladang Murbei

Proses ulat berubah menjadi kokon
Kokon dipanen dan kemudian dibersihkan

Selanjutnya kokon ini direbus dan dipisahkan helai demi helai benangnya. Untuk 10 kilo kokon hanya menghasilkan 1 kilo benang sutera, yang dijual dengan harga 1-1,2 juta rupiah. Lalu barulah kemudian benang-benang tersebut-sebut ditenun menjadi kain. Untuk menenunnya juga masih menggunakan alat tenun bukan mesin, dalam sehari bisa menghasilkan 2-3 meter kain. Sekarang saya tahu mengapa kain sutera itu mahal, karena prosesnya saja sangat panjang dan tidak  mudah.

Proses memisahkan helai demi helai

Dari helainan kemudian menjadi benang - taken with Fuji XT-100

Benang ditenun menjadi kain

Dari perjalanan kali ini saya belajar bahwa melestarikan tradisi bisa dengan berbagai cara, namun bukan hanya sekedar berharap  ada yang mau. Kita juga harus turut aktif mengajak dan menumbuhkan kemauan itu. Seperti yang terjadi di desa Sindangbarang, bersama-sama mereka membangun tempat wisata dimana masyarakat yang berada di sekitarnya turut serta. Ahhhh tapi kan anak-anak itu juga mau karena diiming-imingi uang jajan. Lalu salahnya dimana?  kalau mereka mau karena ada “hadiahnya”, toh tidak mudah menari dibawah terik matahari dan berada diantara puluhan pasangan mata memandang. Sedikit uang yang mereka terima justru memacu mereka untuk datang ke sanggar setiap minggunya, hingga muncul kebiasaan yang akan mereka ingat seterusnya dan mereka menjadi agen yang mengajak teman-teman lainnya untuk sama-sama belajar pencak silat ataupun tari tradisional, hingga tradisi pun tetap lestari.