Sunday, August 24, 2014
ALUNAN DHAROHAR
Berlatarkan langit gelap, gedung tua itu berdiri anggun, guratan sejarah menyeruak, cat yang tak lagi seluruhnya melapisi menunjukkan kecantikan yang tak habis dilekang waktu. Temaram cahaya lampu membuat suasana menjadi syahdu dan romantis. Tak percaya kami baru saja berpacu dengan waktu melewati keruwetan lalu lintas, melewati puing-puing gedung serta lorong-lorong gelap untuk sampai kesini. Kerumunan wisatawan sudah memenuhi taman yang menjadi area pertunjukkan, mereka bersila di atas hamparankasur tipis di bagian depan, di barisan berikutnya tersedia dipan-dipan rendah yang dapat digunakan bersamaan. Selanjutnya barisan kursi dan penonton yang memilih untuk berdiri agar dapat melihat lebih baik.
Lampu-lampu disekitar kami
kemudian digelapkan, sehingga semuanya terfokus pada satu titik di bawah pohon
tua. Berpakaian khas India lengkap dengan sorbannya, seorang pria membuka acara
dan mengantarkan kami ke berbagai pertunjukkan yang akan ditampilkan. Untuk penampilan
pertama dibuka oleh suami istri yang berumur di atas 70 tahun namun kedua badan
mereka masih berdiri tegap. Dengan diiringi oleh sebuah alat musik gesek mereka
bernyanyi, suara tua yang keluar dari mulut mereka justru menjadikan nyanyian
mereka terdengar unik sambil sesekali sang pria berjoget-joget kecil,
mengundang senyuman dan bisikan diantara penyimaknya.
Berikutnya dua orang wanita,
berumur pertengahan 50an, yang satu menggunakan sari berwarna putih dengan
pinggiran merah, dan yang satu lagi menggunakan sari berwarna biru gelap.
Mereka kemudian mengambil posisi duduk dengan kaki terjulur. Sedikit bingung
dengan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Rupanya berbagai macam lonceng
terikat pada tubuh mereka, di kepala, sikut, bahu, telapak tangan, lutut serta
ujung kaki mereka. Dan kemudian pemusik pun memainkan alat musik mereka,
langsung saja kedua wanita itu bergerak dengan sangat lincahnya memainkan
lonceng-lonceng yang ada pada tubuh mereka, semuanya dipukul, dikencringkan
dengan nada yang seirama dan indah. Penonton dibuat terkesiap dengan kelincahan
mereka, berbagai manuver seperti gerakan silat mereka lakukan dengan lincahnya
selama setengah jam tanpa henti. Keringat mulai nampak pada wajah mereka, namun
mereka tetap tersenyum.
Decak kagum tak kunjung berhenti,
hatikupun semakin membuncah. Berbagai atraksi susul-menyusul, pertunjukkan
boneka kayu nan menggemaskan, gerincing ratusan lonceng kecil mengiringi tarian
luar biasa lincah seorang gadis kecil yang membuat penonton bertepuk tangan sesuai
hentakkan kakinya, kemudian lima orang penari dengan sari berwarna-warni muncul
dan membuat lingkaran, mereka menari dengan gerakan-gerakan dinamis membuat
lingkaran besar kemudian kecil, berputar dan terus berputar bagaikan gasing.
Kibasan-kibasan sari mereka seolah membuat torehan pelangi, membuat semua yang
hadir terpukau.
Kemudian wanita tua yang
sebelumnya memainkan lonceng di awal pertunjukkan kembali hadir seorang diri,
kami bertanya-bertanya apa kejutan berikutnya yang akan ia tampilkan. Ia melempar
kendi besar dengan menggunakan kakinya dan menangkapnya dengan ujung kepalanya.
Kemudian berturut-turut ia melemparkan kendi dengan ukuran lebih kecil terus
seperti itu hingga kendi yang terkecil
sehingga ada 7 tingkat kendi diatas kepalanya, aku bertanya-tanya bagaimana
bisa leher dan kepalanya begitu kuat menahan beban sebanyak itu dan tetap
menjaga keseimbangan. Seolah hal tersebut tak cukup membuat kami tercengang
kemudian ia menginjak-injakkan kakinya diatas pecahan beling, dan menutup pertunjukkan
dengan senyuman lebar. Sontak kami semua yang hadir disitu berdiri dan
memberikan tepuk tangan kagum tanpa henti. Dan akupun menangis penuh haru sambil
berpelukkan dengan kakakku. Masih tak percaya mimpiku terwujud indahnya lebih
dari yang kubayangkan.
Peristiwa ini takkan pernah
kulupakan seumur hidupku. Tak percaya rasanya, akhirnya aku mencapai impian
terbesarku, yaitu menapak di tanah India. Setelah 10 tahun menanti dan mendamba
dengan berbagai keraguan. Berawal dari kesukaanku menyaksikan film-film
Bollywood, kemudian aku pun jatuh hati terhadap semua hal yang berbau India.
Bukan hanya mengkoleksi film-filmnya, aku pun mengumpulkan berbagai macam
aksesorisnya. Mulai dari baju, gelang, kalung, sendal, bahkan merubah kamarku
menjadi kerajaan kecil India tersendiri. Sudah jelas impian terbesarku adalah
pergi ke India.
Tentu saja masih banyak orang
yang keheranan dan menganggap norak karena kesukaanku tersebut.
Namun setiap tahun kecintaaan dan keinginan untuk ke India semakin kuat.
Banyak yang menyarankan untuk tidak pergi kesana, karena kata mereka India itu
kumuh, miskin, jorok, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Aku tidak peduli
dengan semua perkataan tersebut.
Takdir datang pada waktu yang tak
diduga. Di suatu siang yang tenang, sambil
mengerjakan tugas-tugas kantor, aku mendapat kabar bahwa Air Asia sedang sale termasuk perjalanan ke India. Aku
harus segera mengambil keputusan karena hari itu adalah hari terakhir. Tentu
saja aku segera mengiyakan, walau sesudah itu aku baru menyadari bahwa tabungan
tak ada, pun gaji seadanya, tapi aku tetap nekat.
2 Maret 2012, 09.00 pagi aku, suami, dan
kakakku sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta terminal 3. Setelah melalui proses
check in dan Imigrasi, aku masih belum mau percaya. Jam 11.00 kami memasuki
pesawat Air Asia QZ7696 yang didalamnya didominasi warna merah yang memberi
semangat. Aku duduk di kursi tengah, cukup dekat dengan jendela untuk melihat
pemandangan di luar, dan cukup dekat untuk ke toilet karena perasaan gugup yang
mendera. Comfort kit dan In Flight meal yang kami pesan untuk
perjalanan tersebut cukup membuatku nyaman. Bahkan suamiku berkata nasi lemak
yang kami makan saat itu adalah yang terenak yang pernah dia coba, terang saja
pada saat disajikan nasi lemak itu masih panas dan wanginya sudah menggoda
hidung bahkan sebelum tutupnya dibuka.
Semakin dekat, semakin terasa mau
pecah dada ini karena gundah. Pada saat kami memasuki India, malam sudah tiba,
gelapnya malam berdampingan dengan ratusan penerangan yang tampak indah dilihat
dari atas. Bersabar untuk keluar bergantian dari pesawat yang mendarat dengan
mulusnya, akhirnya aku pun menghirup udara India. Aku berhasil menjejakkan
kakiku di tanah Impian. Rasa syukur, haru dan bahagia, membuncah di dada. AKUUU
BERHASIIILLL menggapai keinginan terbesar dalam hidupku, membuatku ingin
tertawa dan tersenyum hingga wajah ini terasa pegal.
Sunday, August 17, 2014
KEHANGATAN NEGERI REMPAH
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 69...maaf saya sebagai anak bangsa belum bisa membalas jasa...yang bisa saya lakukan hanya berbagi kisah tentangmu Indonesia. Dan Ini kisah saya mengenai perjalanan saya ke Ambon.
Rasanya belum
hilang dari ingatan tragedi kerusuhan Ambon pada rentang waktu tahun 1998
hingga 2000. Walau aku tak mengalaminya langsung. Namun berbagai macam
pemberitaan media massa pada waktu itu, menimbulkan kengerian bagi siapa saja
yang mengikuti pemberitaannya. Bagaimana tidak, bayangkan saja puluhan hingga
ratusan korban yang tewas, ditambah terbakarnya rumah-rumah dan tempat ibadah,
darah tergenang di jalanan kota, jerit dan tangis terdengar setiap harinya.
Berharap besok masih ada nyawa, berharap besok mimpi buruk ini berakhir.
Was-was, sedikit
bingung, tak terbayangkan apa yang akan aku temui ketika akhirnya pada tahun 2011 aku mendapat tugas liputan ke kota Ambon.
Memang masa kelam itu sudah berakhir lama, tetapi tragedi tersebut masih
membayangi. Dalam keadaan lelah dan mengantuk, aku dan tim akhirnya menjejakkan
kaki di kota Ambon. Maklum saja kami mengambil penerbangan jam 1 pagi setelah
sebelumnya tetap bekerja terlebih dahulu. Dalam keadaan seperti itu, jujur saja
aku tidak begitu memperhatikan apa saja yang terdapat di kota ini, bahkan aku
hanya menyadari bahwa penginapan kami berada di tepi pantai. Setelah
berisitirahat dan cukup segar, kami langsung mengunjungi dua “landmark” Ambon
yaitu Pintu kota dan Tugu Martha Christina Tiahahu disana pula kami menyaksikan
tenggelamnya matahari. Sejauh ini aku mendapati kota yang damai dan normal,
tidak seperti bayanganku sebelumnya. Malam itu aku lebih memilih istirahat
karena esok kami harus bangun pagi sekali.
Ketika pagi tiba,
setelah cuci muka dan gosok gigi aku pun mencari teman-temanku karena biasanya
mereka mengambil gambar matahari terbit. Setelah menyusuri pantai tidak juga
aku menemukan mereka. Hanya ada seorang tukang sapu yang sedang membersihkan
halaman hotel dari daun-daun yang berjatuhan. Aku pun mengarah ke kamar temanku
yang kebetulan searah dengan halaman hotel. Lalu ketika aku mendekat tukang
sapu itu tiba-tiba menyapaku
“Selamat pagi
nona”,
“Selamat pagi” jawabku.
“Maaf bolehkah
saya membersihkan sampah kulit duren di kamar sana?” menunjuk ke arah kamar
temanku yang nampaknya semalam mengadakan pesta duren.
“Oh iya silahkan
saja”
“Saya daritadi
sudah ingin membersihkan, tetapi tak enak kalau tidak izin dulu, takut mengganggu”
“Oh tidak apa-apa
pak”
“Terimakasih
banyak” ujarnya lagi
“Justru saya yang
harus terimakasih”
Iapun segera
beranjak ke arah beranda kamar temanku dan membersihkan sampah kulit duren.
sudah lama rasanya aku tidak menemukan orang seramah dan sesopan bapak tadi.
Hari itu kami
pergi ke benteng Amsterdam, tidak ada tarif khusus untuk masuk kesana, kami
hanya dikenakan biaya donasi untuk pemeliharaan gedung. Di dalamnya tak ada hal
yang istimewa karena gedung itu kosong, tanpa ada barang-barang historis
seperti pada umumnya sebuah museum. Gedung itu sendiri terdiri dari 3 lantai.
Lantai pertama tidak ada hal yang menarik perhatian kami kecuali plakat tentang
sejarah pembangunan benteng Amsterdam. Namun ketika di lantai 2 dan 3 barulah
kami menemukan hal istimewa yang berupa jendela-jendela yang langsung menghadap
ke laut yang biru dimana dapat terlihat pulau seram.
Lokasi benteng
Amsterdam berada di desa Hila, dimana disana pula terdapat gereja tertua.
Melihat gereja tua yang terkunci dan sunyi kami sedikit kebingungan. Namun tak
lama ada sekelompok ibu-ibu di seberang gereja yang memanggil kami dan
menanyakan maksud kami kesana. Setelah menjelaskan tujuan kami, tanpa diminta
salah satu ibu bercerita tentang kerusuhan ambon yang terjadi pada akhir tahun
1998. Gereja termasuk korban dalam kerusuhan tersebut, ternyata bangunan yang
ada di hadapan kami bukan bangunan asli karena bangunan aslinya telah habis
dibakar pada saat kerusuhan. Kejadian itu sangat disayangkan oleh bu acha,
salah satu ibu yang kami ajak ngobrol, beliau berkata “bangunan itu tak bersalah
kenapa harus diapa-apakan” walau bangunan ini digunakan oleh umat kristiani
namun bangunan ini dijaga oleh umat islam yang tinggal di sekitarnya. Setelah
mendapatkan cukup gambar untuk bahan liputan, kami pun beranjak dari sana.
Kami pun pergi ke
desa Kaitetu yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari desa Hila. Disanalah
terdapat mesjid tertua di Ambon. Melihat jarak desa yang berdekatan ini seolah
menggugurkan rumor bahwa umat Islam dan Kristiani bermusuhan. Mesjid tua
Wapauwe terletak di dalam perumahan penduduk. Posisinya berada rapat dengan
rumah-rumah penduduk mengelilinginya, serta banyak pohon mangga tumbuh
disekitarnya. Yang ternyata itulah asal usul nama Mesjid Wapauwe, yang berarti
pohon mangga hutan dalam bahasa Kaitetu.
Saat itu aku hanya
mengenakan kaos dan celana pendek. Sehingga aku tidak berani masuk ke dalam
Masjid, hanya mengamati dari luar sembari mencatat sejarah mesjid Wapauwe yang
terpampang besar di samping masjid. Tiba-tiba ada seorang ibu yang berteriak
memanggilku, beliau menyuruhku untuk duduk bersamanya di teras rumahnya.
Setelah memperkenalkan diri dan maksud kami datang ke Ambon, dia memintaku
untuk memberitakan bahwa tidak ada masalah antara umat Islam dan Kristiani di
Ambon. Lalu ia pun bercerita sambil matanya menerawang, dulu sebelum kerusuhan
terjadi umat kristiani dan muslim hidup berdampingan dan saling membantu.
Setiap hari-hari besar keagaaman mereka selalu bergotong royong dan menghormati
satu sama lain. Entah darimana dan bagaimana kerusuhan dimulai, yang meraka
tahu dan mereka yakini bahwa siapapun yang memulai isu yang memecahkan
kerukunan beragama disana, bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari
luar Maluku, bukan penduduk asli. Ketika peristiwa itu terjadi, orang saling
membunuh dan memburu, namun sesama umat muslim dan kristiani disana saling
membantu dan memberikan perlindungan kepada siapapun yang membutuhkan. Akan
tetapi mereka yang dahulu bertetangga, akibat peristiwa tersebut menjadi
berpisah jarak. Keinganan ibu itu sederhana beliau hanya ingin Ambon kembali
damai seperti sedia kala.
Ketika beliau
bercerita, tanpa sadar para tetangga pun ikut berkumpul disana dan saling
menimpali cerita. Kami mengobrol banyak termasuk berkisah tentang keajaiban
mesjid tua yang terletak persis di sebelah rumahnya. Beliau pun menanyakan apa
aku sudah sembahyang, dan kujawab belum. Beliau berkata bahwa aku harus
merasakan sholat di mesjid tertua tersebut, karena sayang sekali sudah
jauh-jauh datang tapi tak sholat disana. Lalu dengan sungkan mengatakan bahwa
saya malu baju saya tak pantas masuk mesjid. Ibu itu pun meminta teman-temannya
agar membantu saya. Kedua ibu yang lain membantu saya mengambilkan mukena dari
dalam mesjid, agar saya bisa langsung mengenakannya begitu saya selesai
mengambil air wudhu di luar mesjid. Untuk saya Mesjid ini memang sederhana
namun membawa kenyamanan dan ketenangan beribadah di dalamnya, bersyukur saya
diberi kesempatan untuk melaksanakan sholat disini. Kedua ibu tadi menunggu
dengan sabar hingga saya menyelesaikan sholat saya, dan kemudian mereka
menunjukkan bagian-bagian penting dari mesjid. Mesjid yang dibangun pada tahun
1414, mempunyai keunikan tersendiri yaitu dibangun tanpa menggunakan paku satu
pun. Selain itu pula disini terdapat mushaf Al-Quran tertua di Indonesia, yang
ditulis tangan oleh Muhammad Arikulapessy imam pertama masjid
Wapauwe. Menjadi suatu kebiasaan disini, jika ingin berpergian jauh, mereka
datang ke Mesjid Wapauwe dan menunaikan ibadah dulu disini untuk berdoa
mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Dengan berbagai
keunikannya tak heran mesjid ini menjadi kebanggaan umat muslim Ambon. Hingga kami
pergi dari sana kami terus ditemani oleh warga desa Kaitetu, dan tak lupa
senyuman dan lambaian tangan mereka berikan, mengiringi kepergian kami.
Maluku kaya akan
berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah, itu pula yang menyebabkan
bangsa asing datang kesini, yaitu untuk menguasai rempah-rempah sehingga dapat
meraih untung dan mengendalikan perdagangan dunia. Jadi tak sempurna rasanya
jika datang ke Ambon tanpa napak tilas sejarah para pahlawan, khususnya kisah
keberanian Thomas Matulessy dalam melawan penjajah, beliau juga dikenal dengan
julukan Kapitan Patimura. Pulau Saparua adalah tujuan kami selanjutnya. Sebelum
pergi pemilik hotel memastikan apa kami sudah ada orang untuk menemani. Walau
memang sudah ada orang yang aku hubungi untuk menemani, tapi membuatku bertanya
ada apa gerangan. Ternyata belum lama ini terjadi bentrokkan antar desa di Pulau Saparua dan
dikhawatirkan keadaan masih tegang, sehingga diperlukan pendamping untuk
menemani kami. Tak lama pak Johanis atau kami memanggilnya pak Yanes datang,
beliau berperawakan mungil dan berusia lebih kurang 50 tahun. Setelah melihat
kedatangan beliau, pemilik hotel pun lega dan meyakinkan bahwa bersama pak
Yanes semuanya aman.
Dari pelabuhan
Leihitu kami mengambil kapal cepat untuk sampai ke Saparua. Satu hal yang saya
perhatikan tentang pak Yanes, beliau disegani banyak orang. Di setiap pelabuhan
manapun biasanya para calon penumpang diserbu calo tiket ataupun portir yang
berebutan mengangkut barang, dimana keadaan tersebut selalu membuatku risih dan
harus ekstra waspada. Namun begitu mereka melihat kami bersama Pak Yanes,
mereka semua langsung pergi menjauh, tanpa pak Yanes mengucapkan kata sepatah
pun.
Setelah satu jam
perjalanan akhirnya kapal kami hampir tiba di Pulau Saparua, yang ditandai
terlihatnya salib besar yang terletak di pinggiran pulau Saparua, seolah
menyambut para pengunjung. Dan lagi-lagi ketika sampai kami pun diserbu oleh
para supir angkutan umum, yang tentu saja segera bubar ketika melihat pak
Yanes. Kami pun menyewa salah satu mobil angkutan umum untuk mengantar kami ke
desa Porto dan desa Haria. Di desa Portolah terletak gereja tua Irine, dimana
disanalah berdiri salib besar yang tadi terlihat dari kejauhan. Sebelum
memasuki desa Porto, pak Yanes mengajak kami untuk ke rumah Kepala Desa
terlebih dahulu untuk mendapatkan izin. Ternyata kami hanya bertegur sapa dan
izin sekedarnya. Pak Yanes berkata bahwa sebenarnya bisa-bisa saja langsung
masuk ke gereja Irine tetapi sopan santun dan kekerabatan harus tetap dijaga.
Aku pribadi sangat menyetujui hal itu.
Setelah mengambil
gambar dan berbagai keterangan tentang gereja Irine. Kami pun beristirahat
sejenak di salah satu warung di seberang gereja, karena hari itu panasnya
begitu terik. Warung ini menurutku sangat manis, mengingatkankku pada film-film
lama. Warung ini merupakan bagian kecil dari rumah kayu berwarna kuning, dimana
di pekarangannya terdapat berbagai tanaman dan bunga warna-warni, dan
dikelilingi pagar kayu warna putih, walau tidak besar tetapi terasa manis
sekali.
Walau kami hanya
memesan minuman dingin, tetapi pemilik warung tidak berkeberatan sama sekali.
Beliau pun ikut bercengkerama dengan kami. Walau beliau tidak mau bercerita
banyak, syukurlah ternyata ketegangan antar desa yang dikhawatirkan sebelumnya ternyata sudah
berakhir.
Kemudian tibalah
kami di Desa Haria. Kami berkunjung ke rumah Kapitan Pattimura. Rumah kecil ini
ternyata menyimpan berbagai kisah tentang Kapitan Pattimura mulai dari
asal-usul, silsilah, sejarah perjuangan hingga beberapa peninggalan beliau. Aku
berharap bahwa ke depannya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada rumah
bersejarah ini, yang mulai lapuk dimakan usia. Kemudian kami singgah di Wei
Sisil, dimana daerah yang tenang dengan air laut jernih ini pernah menjadi
lautan darah. Darah para penjajah yang mati ditangan para pejuang yang hanya
bermodalkan bambu dan parang. Oleh karena itu disini terdapat tugu untuk
menghormati jasa para pejuang.
Tak jauh dari
sana terdapat benteng Duurstede, benteng yang terlihat sangat kokoh dari luar
namun ternyata di dalamnya hanyalah puing-puing tersisa. Benteng ini juga
merupakan lambang perlawanan rakyat saparua dalam melawan penjajah, tentu saja
dibawah pimpinan Kapitan Pattimura. Dari pak Yanes kami juga mengetahui bahwa
Pattimura, berasal dari kata Patti yang berarti Raja, sedangkan Murah berarti
Sepenuh hati. Mengetahui berbagai perjuangan dan keberanian Thomas Matulessy
demi kebebasan rakyat Maluku tak heran beliau mendapatkan julukan tersebut.
Hari sudah mulai
sore, dan kami harus segera ke Pelabuhan jika ingin mengejar kapal untuk
kembali. Selain berbagai kisah tentang keberanian para pahlawan maluku. Saya juga
mempelajari satu hal, bahwa pribahasa jangan menilai buku dari sampulnya benar
adanya. Itulah gambaran tentang sosok pak Yanes. Perawakannya yang kecil dan
sedikit tua, tapi ternyata memliki berbagai kelebihan. Baru kali ini kami pergi
dengan seseorang yang benar-benar mengetahui berbagai sejarah daerahnya,
disegani banyak orang, serta sangat membantu kami dalam segala hal, sehingga
pekerjaan kami pun terasa lebih mudah. Yang paling utama beliau pun tidak
pamrih sama sekali.
Setelah
menghabiskan waktu beberapa hari di Ambon, sudah saatnya kami pergi ke daerah
lain. Tujuan kami berikutnya adalah Pulau Seram. Namun sebelum kami pergi dari
kota Ambon, ternyata pemilik penginapan meminta kami untuk makan malam di Hotel
karena mereka telah menyiapkan sesuatu untuk kami. Setelah liputan terakhir
hari itu kami pun segera pulang ke hotel untuk memenuhi undangan pemilik hotel.
Dan benar saja di sebuah saung yang terdapat disana sudah disediakan berbagai
macam makanan. Mulai dari hidangan laut, hingga makanan khas Maluku yaitu
Papeda dan ikan kuah kuning.
Bisa dibilang
berkumpul dan bernyanyi merupakan kegiatan kesukaan masyarakat Maluku. Selain
aku dan tim yang berada disana malam itu, pemilik hotel juga mengundang
beberapa orang teman-temannya termasuk pak Yanes. Setelah selesai makan malam,
tak lama mereka pun mengambil gitar dan mulai bernyanyi. Suara mereka
benar-benar bagus dan merdu. Tak heran Glenn Fredly sang penyanyi terkenal
Indonesia memiliki suara seindah itu, karena memang ternyata daerah
kelahirannya terkenal akan orang-orang bersuara merdu. Kebanyakan mereka
menyanyikan lagu-lagu Ambon, walau aku tak mengerti namun aku sangat menikmati.
Melalui lagu-lagu berbagi tawa berbagi kisah. Malam semakin larut, lagu-lagu
dinyanyikan namun suasana seketika berubah syahdu ketika pak Yanes menyanyikan
lagu Maluku Tanah Pusaka
Maluku Tanah Pusaka
Maluku Tanah
Pusaka
Nyong Ambon
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Sio maluku tampa beta putus pusa e
paser putih aluse gunung deng tanjong
beta seng lupa e
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
nusa ina
itu tanah asal ee
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise
gandong E
Nyong Ambon
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Sio maluku tampa beta putus pusa e
paser putih aluse gunung deng tanjong
beta seng lupa e
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
nusa ina
itu tanah asal ee
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise
gandong E
“Dari ujung
Halmahera hingga Tenggara jau katong samua basudara”....itulah bagian lirik
yang menyentuh hatiku dan hingga kini selalu terngiang-ngiang dalam benakku.
Untukku lagu itu mengingatkan kita bahwa apapun latar belakang suku, budaya,
dan agama, kita semua tetap bersaudara. Terimakasih atas segala keramahanmu hai
Negeri Rempah, kehangatanmu membuatku berjanji untuk datang kembali dan
mengenalmu.
Friday, July 4, 2014
DUA MATAHARI TERBIT
Dinginnya
kota magelang pada jam 3 pagi membuat siapapun ingin tetap meringkuk di balik
selimut dan tetap berada di dunia mimpi. Tidak begitu dengan saya, walau
sedikit enggan sayapun mulai bersiap-siap. Tuntutan pekerjaan kali ini membuat
saya dan tim harus mengejar matahari terbit.
Jalanan
menuju candi Budha yang termegah dan terkenal tentu saja masih gelap dan
lengang. Untuk mengusir rasa kantuk yang terus menghinggapi saya pun terus berpikir
akan melihat keajaiban yang akan terjadi.
Sesampainya
di komplek candi Borobudur, penghubung kami yang merupakan orang dinas taman
candi, membawa kami terlebih dahulu ke sebuah hotel. Hotel yang memang masih
terletak di areal candi, ternyata menjadikan “pertunjukkan” matahari terbit di
candi Borobudur sebagai daya tarik hotelnya.
Sedikit
terkejut ketika mengetahui ternyata cukup banyak wisatawan asing yang berminat untuk
melihat pergantian pagi ini. Berbekal senter dan mempercayakan jalan kepada
satu orang, namun sudah hafal betul seluk beluk candi. Kami pun naik hingga tingkat
tertinggi yaitu bagian arupadatu dimana disanalah stupa-stupa berada.
Stupa-stupa yang dipercaya jika berhasil menyentuhnya maka akan mendatangkan
rezeki. Yang belakangan kami tahu itu hanya mitos buatan saja.
Masih
ada satu jam hingga terbitnya sang surya. Ada yang sudah memasang tripod kamera
untuk mendapatkan posisi terbaik ketika jam magis itu tiba, ada juga yang
memilih tempat untuk menunggu sambil tertidur sejenak.
Jam
5 kurang, semburat cahaya mulai mewarnai langit. Terucap syukur dan kekaguman
tak ada habisnya, ketika hangat matahari mulai menggantikan rasa dinginnya
malam. Ada yang terpukau, ada yg sibuk mengabadikan peristiwas tersebut dan ada
juga yang memberikan penghormatan melalui gerakan-gerakan yoga.
Sinar
matahari yang jatuh di sisi-sisi candi memberikan keindahan yang berbeda-beda
di setiap sudutnya. Walau sudah kesekian kalinya mengelilingi bagian candi di
tingkat teratas tersebut, namun kali ini
berbeda. Kejutan keindahan menunggu untuk ditemukan bagi mereka yang mau
menelusurinya. Tak heran para wisatawan asing mau membayar mahal demi hadir di
peristiwa magis ini. Peristiwa magis yang menyatukan berbagai orang dari
berbagai belahan bumi, dengan latar belakang yang berbeda-beda, dengan caranya
masing-masing, mengucap rasa syukur yang sama.
Matahari
sudah sepenuhnya muncul, dan tak lama kemudian tiba-tiba rombongan anak SD
sekitar kelas 3 atau 4 datang, lengkap dengan seragam dan buku serta alat tulis
ditangan. Muka mereka begitu semangat walaupun sudah menaiki puluhan tangga
candi yang cukup membuat terengah-engah. Entah mengapa rombongan ini menarik
mata saya untuk melihat apa yang akan mereka lakukan.
Mereka
pun berpencar ada yang berkelompok ada yang sendiri-sendiri. Ternyata mereka
mulai mendekati turis-turis mancanegara. “Hallo my name is...” How do u do?”
...”What is your name?”. Where do u came from?” inilah beberapa kalimat bahasa inggris yang keluar
dari mulut mereka, ada yang terlihat yakin ada juga yang terbata-bata karena
takut.
Orang
yang mengantar kami pun menjelaskan bahwa anak-anak ini datang dari desa yang
jaraknya lebih kurang 4 jam dari candi borobudur. Biasanya anak-anak ini sudah
kumpul di sekolah masih masing-masing mulai dari tengah malam, agar dapat tiba
pagi hari di Candi Borobudur. Biaya untuk transportasi pun merupakan hasil
patungan antara pihak sekolah dan orang tua murid, dan dilakukan selama
berbulan-bulan. Bisa dibayangkan, jangankan tempat les bahasa Inggris, buku
pelajaran pun mereka harus berbagi karena keterbatasan biaya. Oleh karena itu
hal ini mereka lakukan, karena inilah jalan satu-satunya agar anak-anak ini
dapat belajar bahasa Inggris. Kegiatan ini dilakukan beberapa bulan sekali
mulai dari anak kelas 3 hingga 6 SD. Jangan bayangkan perjalanan dengan
kendaraan yang nyaman dan ber-AC untuk menempuh waktu 4 jam, bus-bus omprengan
yang sudah tualah yang biasa mereka pakai.
Betapa
malunya saya, menyadari tadi pagi sempat sedikit berat hati untuk bekerja,
sangat berbeda dengan anak-anak itu yang datang penuh semangat. Senyuman terus
merekah pagi itu, ketika melihat reaksi wisatawan mancanegara. Para turis asing
ini dengan penuh senyuman menjawab setiap pertanyaan anak-anak tersebut. Jika
ada anak yang terlihat gugup mereka pun tak ragu memberikan rangkulan. Wajah
anak-anak pun semakin bersemangat jika sudah berhasil mendapatkan turis di
wawancara. Kompetisi antar anak pun terlihat ketika yang satu berhasil
mendapatkan banyak nama yang telah diwawancara, maka yang lain tak mau kalah.
Hari
itu saya menyaksikan dua matahari terbit, yaitu dalam arti sesungguhnya.
Sedangkan yang satu lagi adalah anak-anak itu. Semangat mereka, merupakan wujud
nyata bahwa masih ada harapan untuk negeri ini. Mudah-mudahan cahaya itu tak
pernah padam.
Saturday, June 21, 2014
HEI...BECAK
Tak banyak lagi kota yang memilikinya
Beruntung bagi yang masih menjumpainya
Rodanya tiga, dikayuh bapak tua
Takkan pernah secepat mobil atau motor sekalipun
Namun mampu menghalau panas dan hujan
Percayalah...Naik becak itu lebih mewah
Bersantai merasakan angin sepoi-sepoi
Melihat pemandangan kota lebih seksama
Dapat bertegur sapa dan saling melempar senyum
Atau berbagi cerita dengan abang pengkayuh becak
Hanya dengan naik becak pengalaman sudah bertambah
Hei becak...hanya ini harapku
Tetaplah tangguh sehingga zaman apapun tak bisa menghilangkanmu
Beruntung bagi yang masih menjumpainya
Rodanya tiga, dikayuh bapak tua
Takkan pernah secepat mobil atau motor sekalipun
Namun mampu menghalau panas dan hujan
Percayalah...Naik becak itu lebih mewah
Bersantai merasakan angin sepoi-sepoi
Melihat pemandangan kota lebih seksama
Dapat bertegur sapa dan saling melempar senyum
Atau berbagi cerita dengan abang pengkayuh becak
Hanya dengan naik becak pengalaman sudah bertambah
Hei becak...hanya ini harapku
Tetaplah tangguh sehingga zaman apapun tak bisa menghilangkanmu
Tuesday, April 15, 2014
MENANTI BAHAGIA
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali www.thebaybali.com& Get discovered!
Malam itu ia meneleponku, bercerita betapa beruntungnya ia kali ini mendapat kesempatan menginap di The Bay Bali, ia akan disana selama beberapa minggu. Ia bercerita tentang kebiasaan barunya di pagi hari yaitu berlari di tepian pantai yang pasirnya lembut dan bersih, kemudian sesudahnya berlama-lama mencelupkan kaki di lautnya yang jernih sambil menghirup udaranya yang segar. Sore harinya setelah bekerja dan meeting seharian ia akan pergi ke D’Opera untuk berenang atau sekedar bersantai di pinggir kolam sambil membaca buku. Tak lupa tentang petualangan kulinernya disana, hari ini akan makan masakan cina di Hon Xing, di lain hari di Benihana, atau mencoba kembali ke impian masa kecilnya di Pirate Bay, tetapi kesukaannya tetap masakan Indonesia, oleh karena itu Bumbu Nusantara serta Bebek Bengil menjadi tempat favoritnya. Seketika itu aku berkata “ Sayang, aku kesana yah nyusul kamu, ada yang ingin aku bicarakan.”
Kubuka
lagi amplop cokelat dalam genggamanku. Berkali-kali kumelihat isinya hingga
amplop itu menjadi kusut. Sebisa mungkin ku menahan jatuhnya airmata. Berulang
kali aku melihat jam tangan, jam di dinding restoran, mengetuk-ngetuk sendok di
cangkir, mengelap keringat, menanti suamiku yang tak kunjung datang.
Pelayan
sudah datang kesekian kalinya memberitahuku, bahwa crispy duck pesananku sudah siap disajikan. Namun aku memilih
menunggu suamiku datang terlebih dahulu. Karena crispy duck dari Bebek Bengil ini selalu menjadi makanan
favoritnya. Jadi paling tidak mood suamiku dalam keadaan yang baik ketika
menyampaikan berita ini. Oh... Tuhan kenapa waktu berjalan sangat lambat,
penantian ini menyiksaku. Aku ingin semua segera berlalu. Rasa sesak ini sudah
memenuhi dadaku.
10
tahun sudah kami berumah tangga namun tak kunjung juga hadir buah cinta dari
pernikahan ini. Awalnya kami menghadapinya dengan santai dan menikmati waktu
“bulan madu” panjang kami. Namun lama
kelamaan usia pun bertambah. Aku sudah menginjak 35 tahun, kekhawatiran itu pun
muncul. Ditambah lagi setiap ada teman kami yang hamil anak yang kesekian,
bercerita tentang tingkah laku anaknya, atau bahkan menceritakan anaknya yang
sedang sakit dan membutuhkan perhatiannya, semua itu membuat hati ini
teriris-iris.
Gaya hidup kami pun berubah, kami menjauhi
“junk food” serta gorengan dan melakukan gaya hidup sehat. Bahkan suamiku pun
sudah membuang jauh-jauh kebiasaan merokoknya. Setiap ada yang pergi umroh atau
haji aku tak lupa minta dibawakan bunga kurma, yang konon katanya manjur untuk
segera hamil. Tetapi entah berapa banyak bunga kurma yang sudah kumakan, bukan
hanya bunga, buah, mungkin biji atau pohonnya sekalian aku makan supaya cepat
hamil.Dari cara mitos maupun medis kami lakukan semua, gerakan-gerakan
a,b,c,d,....z sudah kami praktekkan agar cepat hamil. Bahkan beberapa kali
inseminasi buatan di beberapa rumah sakit.Namun lagi-lagi hasilnya nihil.
Suatu
hari aku tak sengaja mendengar obrolan Mertua dan suamiku, beliau mengatakan
bahwa ia malu ditanya kawan-kawannya mengapa belum juga punya cucu. Beliau
yakin kesalahan berada dalam garis keluargaku, karena garis keluarga pihak
suamiku semuanya dikaruniai banyak anak. Hanya aku dan suamiku yang belum juga
mempunyai anak. Namun, itu belum seberapa dibandingkan perkataan beliau
selanjutnya. Beliau bilang bahwa ia sudah menemukan calon untuk suamiku.
Ya...calon istri kedua, yang bisa memberinya keturunan. Belum sempat suamiku
menjawab aku sudah masuk kamar dan meluapkan amarahku, hilang sudah
sopan-santunku di hadapan mertuaku.
Semenjak
itu hubunganku kepada mertuaku memburuk. Parahnya ini juga berdampak pada
hubunganku dengan suamiku. Aku mengerti dia berada di posisi terjepit, di satu
sisi ia mencintai ibunya dan di sisi lainnya ada aku wanita yang janjikan
dicintai sampai akhir hayatnya. Ia berada di posisi dimana kedua wanita ini
membutuhkan perhatiannya dan juga pembelaannya. Namun aku tetap tak mau
mengerti atas pertimbangan ibunya untuk menghadirkan wanita lain dalam rumah
tanggaku.
Setiap
kali suamiku bercerita tentang ibunya, komentar sinis selalu keluar dari
mulutku. Kadang suamiku terdiam karena tidak ingin ribut denganku, namun di
lain waktu ia juga mati-matian membela ibunya, dan aku selalu sakit hati.
Belakangan hubungan kamipun hanya sebatas orang yang “kebetulan serumah”. Makan
bersama, tidur bersama, tinggal di atap yang sama namun tidak ada lagi
kehangatan dan keintiman seperti dulu. Semakin jauhlah keinginan untuk punya
anak itu terwujud.
Suatu
hari aku melihat artikel tentang bayi tabung. Aku sangat tertarik melihat
artikel tersebut lalu aku pun mulai mencari lebih jauh tentang bayi tabung di
internet, semakin kubaca semakin tumbuh kembali mimpiku untuk hamil. Akupun
menanti kedatangan suamiku dari kantor dengan
tidak sabar. Begitu ia pulang, ia cukup terkejut melihatku yang bersikap manis
dan ceria. Aku pun langsung menunjukkan berbagai artikel yang sudah kukumpulkan
seharian ini.
“Sayang
aku mau kita coba ini” kataku yang sudah
tak sabar menunggu reaksinya.
“Ini
sangat menjanjikan, tapi apa kamu tahu perkiraan biayanya? Lihat ini mahal
sekali sampai puluhan juta, bahkan kalau kita menggunakan seluruh tabungan kita
pun belum cukup.” Balas suamiku
“Aku
bisa menjual perhiasan yang aku miliki, dan kamu bisa jual mobil dan ganti
dengan mobil bekas” semangatku berapi-api,
“Tapi
sayang, bukan aku ga mau...hanya saja biaya yang dikeluarkan terlalu besar” dia
menunjukkan ketidakyakinannya
“
Aku yakin cara ini pasti berhasil, banyak pasangan yang seperti kita,menempuh
cara ini dan berhasil”
“Tapi,
bagaimana kalau gagal lagi? Apa kita
masih sanggup menerima kekecewaan lagi? Bagaimana kalau memang kita ditakdirkan
untuk tidak punya anak!!!!
Lelakiku
yang tampan dan gagah, yang selama ini menjagaku.....malam itu menunjukkan
kelemahannya, hancur sudah pertahanannya. Melihat wajah suamiku yang memerah,
punggung yang menujukkan ketidakberdayaan, membuat aku sadar berapa besar beban
yang selama ini ditanggungnya.
Kubelai
rambutnya dan kupeluk dia, “Sayang ini terakhir kalinya kita mencoba, kalaupun
ini gagal aku ikhlas menuruti kemauanmu dan ibumu, apapun itu.” Dia tak
menjawab, malam itu kami berdua hanya diam dan saling berpelukkan, diwarnai
isak tangis yang sesekali terdengar.
Beberapa
bulan sebelum melakukan program bayi tabung, kami menyiapan fisik dan mental
seperti yang disyaratkan oleh dokter. Setelah itu barulah kami memasuki proses
bayi tabung, yang terdiri dari 10 tahapan. Sayangnya suamiku tidak dapat
menemaniku hingga tiap tahapan terlewati, dikarenakan ia dipindah tugaskan ke
Bali. Hal ini membuat aku goyah, karena aku sangat berharap kami dapat
melaluinya berdua. Namun, di sisi lain uang kami sudah habis terkuras untuk
program ini, jadi aku pun harus tegar walau sendiri. Ia selalu meneleponku
setiap malam, untuk mengetahui perkembangan program tersebut, namun pertanyaan-pertanyaanya
justru semakin membuatku resah dan terbebani. Hingga akhirnya ia memilih
memendam keinginantahuannya, dan membicarakan hal lain tetapi tak
sepatahkatapun tentang bayi tabung.
Beberapa
minggu berlalu suamiku memintaku untuk menemaninya dinas di Bali. Dia berpikir
itu akan baik buat aku, mendapatkan suasana baru serta menangkan pikiran.
Tetapi aku menolaknya mentah-mentah, tak tahan rasanya harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari temannya “ anaknya kemana kok ga dibawa?” , “oh
belom punya anak, kok ga coba di cek ke dokter?” , “udah nyoba a, b, c,d belom biar cepet punya anak?” , atau yang
lebih menganggu “ wah kalau aku malah kerepotan ngurus tiga orang anak”, “eh
lihat nih anakku cantik/cakap bukan?” ...Aaarrrggghhh membayangkannya saja
sudah membuat aku gerah
Setelah
kepergianku suamiku selama tiga bulan, kelakuannku semakin menjadi-jadi. Sering
aku berdiam di kamar seharian tanpa makan sedikitpun. Kadang seperti orang
kalap’ belanja ini itu. Atau pergi tanpa tujuan hingga larut malam. Berbicara
kalau sedang ingin saja, atau menjawab sekenanya ketika orang tuaku menelepon. Aku
begitu egois.
Malam itu ia meneleponku, bercerita betapa beruntungnya ia kali ini mendapat kesempatan menginap di The Bay Bali, ia akan disana selama beberapa minggu. Ia bercerita tentang kebiasaan barunya di pagi hari yaitu berlari di tepian pantai yang pasirnya lembut dan bersih, kemudian sesudahnya berlama-lama mencelupkan kaki di lautnya yang jernih sambil menghirup udaranya yang segar. Sore harinya setelah bekerja dan meeting seharian ia akan pergi ke D’Opera untuk berenang atau sekedar bersantai di pinggir kolam sambil membaca buku. Tak lupa tentang petualangan kulinernya disana, hari ini akan makan masakan cina di Hon Xing, di lain hari di Benihana, atau mencoba kembali ke impian masa kecilnya di Pirate Bay, tetapi kesukaannya tetap masakan Indonesia, oleh karena itu Bumbu Nusantara serta Bebek Bengil menjadi tempat favoritnya. Seketika itu aku berkata “ Sayang, aku kesana yah nyusul kamu, ada yang ingin aku bicarakan.”
Dan
sekarang disinilah aku berada. Setelah beberapa bulan tak bertemu, masih juga
harus menanti beberapa jam, karena hari
ini ia sangat sibuk sehingga ia tak bisa menjemputku d bandara dan baru menemui
ketika makan malam. Udara yang sejuk serta bale-bale tradisional yang menghadap
sawah-sawah mini, serta pencahayaan dari lilin dan obor, bisa membuat siapa
saja merasa terlena, kecuali aku.
Akhirnya
aku melihat sosoknya, dari kejauhan ia tersenyum padaku. Senyumnya yang selalu
bisa membuat wajahku merona.
“Maaf
yah aku lama, tadi kliennya agak rewel jadi aku tertahan lama di tempat
meeting” ia bersikap sewajar mungkin
“iya
gapapa”
“Gimana
kabar kamu? Semua baik-baik aja kan?. Tanyanya sambil menggenggam tanganku.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya, ada yang
aku ingin bicarakan”
“Sayang,
kamu capek dan aku juga, gimana kalau kita makan dulu yah”
“Ngga
harus sekarang pokoknya”
“Kenapa
sih baru ketemu kamu udah ketus gitu?....hmmm ya udah apa yang mau kamu
obrolin?
“Nih
buka aja” sambil menyerahkan amplop coklat yang sedari tadi kupegang
Matanya
terbelalak, tangannya menggenggam kencang isi amplop tersebut “Kamu
serius?....kamu ga lagi becanda kan?...
Senyum
merekah di bibirku ‘ iya sayang aku serius, itu hasil lab dan USGnya....usianya
sudah 12 minggu..itu anak kita”
“Kok
kamu ga pernah ngasih tau aku? Kalau programnya berhasil”
“Karena
aku juga sama takutnya sama kamu....aku bener-bener takut kalau ini gagal lagi”
“Jadi
ini alasan kamu suka marah-marah dan sensitif banget akhir-akhir ini?” ujarnya
menggoda
“ihhh
kamuuu....tapi iya sih, dan itu juga alasan kenapa aku baru kesini
sekarang....karena nunggu si ini nih kuat dulu” sambil kuusap perutku.
Ia
pun serta merta memelukku, Begitu hangat, begitu erat pelukannya, kecupannya
mendarat bertubi-tubi. Wajahku memerah karena begitu bahagianya dan sedikit
malu menjadi perhatian banyak orang saat itu. Kami tertawa dan menangis
bersama, namun kali ini dengan alasan yang berbeda. Kebahagiaan itu akhirnya
datang juga.
Sunday, April 13, 2014
SEWUJUD BAHAGIA
“Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali (The bay bali) & Get discovered!"
“Bundaaaaaa,
lihaaattttt...... aku adalah bajak laut penguasa lautan” seru riang anakku dari atas kapal bajak laut
yang terdapat di tepi pantai.
“iya
sayang, mainnya hati-hati yah” balasku sembari melambaikan tangan.
Sudah
kuduga sebelumnya Fira, nama panggilan puteri kami, akan sangat menyukai Pirate
Bay ini, pemandangannya yang langsung ke laut serta berbagai kegiatan yang
ditawarkan akan memikat hati anak mana pun, walaupun kemarin ia juga mengatakan
menyukai kolam renang dengan kursi-kursi cantik yang terdapat di D’Opera.
----------------
“
Kamu yakin, mau kita ke Bali?” tanya suamiku
“Yakin
mas, berapa kali lagi sih kita harus ngebahas ini.....aku mau kita ke Bali, iya
kita bertiga!”
“Tapi
apa kamu udah pikirin ini semua matang-matang”
“Iya
aku udah pikirin semua dan segala resikonya. Aku cuma pengen dia punya kenangan
bahagia, bukan kenangan bolak balik ke rumah sakit. Aku ga pengen kita
menyesal.” aku terduduk, airmataku jatuh tak tertahankan.
Suamiku
pun memelukku, ia menghela nafas panjang. “OK, aku coba atur waktu, aku akan
ambil cuti dan beresin semua kerjaan, kita ke Bali yah.”
Bisa
dibilang aku adalah salah satu wanita yang beruntung. Setelah lulus kuliah, aku
langsung mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan. Beberapa tahun
kemudian aku pun menikah dengan lelaki
tampan yang selama ini kukagumi diam-diam. Kamipun mempunyai istana kecil kami
sendiri, sehingga kami pun bisa memulai berumah tangga secara mandiri.
Keberuntungan tidak hanya sampai disitu, setahun kemudian kami dikarunia
seorang putri cantik yang menjadi kesayangan semua orang, karena memang dia
cucu pertama baik dari keluargaku maupun keluarga suamiku.
Waktu
bergulir, istana kecil kami dipenuhi tawa riang anak semata wayang kami. Namun
semakin bertambah usia Shafira seringkali terkena flu dan juga mimisan. Awalnya
aku pikir dia sakit biasa saja, hingga akhirnya dokter menyarankan untuk
memeriksa secara keseluruhan.
Bagai
disambar petir di siang hari, aku masih ingat dengan jelas ketika dokter
menyatakan bahwa putri kecil kami terkena leukimia. Orang tua mana yang tidak
hancur hatinya ketika anaknya divonis seperti itu.
Leukimia
atau kanker darah, bagaimana bisa??? Usianya baru tujuh tahun....Anak sekecil
itu sudah menderita penyakit seberat itu. Bermalam-malam aku menangis dalam
pelukkan suamiku, mempertanyakan Tuhan atas ketidakadilan ini, dan mengapa
bukan aku saja yang terkena? Kenapa harus anakku?.
Bagai
orang gila, aku mencari kesana kemari berbagai rumah sakit yang dapat
menyembuhkan penyakit anakku. Namun itu belum seberapa, jika dibandingkan
ketika melihat anakku menjalani sesi kemoterapi, ketika melihat selang-selang
itu ditancapkan ke tubuhnya, ketika obat-obat itu masuk kedalam tubuhnya, dan
ketika ia menahan sakit dalam menjalani prosesnya.
Satu
hari setelah pulang sekolah, ia menangis begitu kencangnya, ia mengatakan bahwa
ia tak ingin lagi sekolah. Ternyata ia menjadi bahan ejekkan karena kepalanya
yang hampir botak, walau sudah berusaha ditutupi sedemikian rupa. Dia juga
mempertanyakkan mengapa aku membiarkan dokter-dokter merontokkan rambutnya.
Hatiku
mencelos, apa dayaku? Apa yang harus kujawab? Bagaimana aku harus menjelaskan?
Coba apa yang akan kalian katakan jika kalian berada di posisiku?.
Lambat
laun puteriku menerima keadaannya. Memang aku dan suamiku sepakat untuk tidak
menutup-nutupi tentang penyakitnya, karena bukankah akan lebih menyakitkan jika
kami harus selalu berbohong kepadanya. Dua tahun sudah ia menjalani berbagai
pengobatan dan terapi. Putri hebatku tak banyak mengeluh maupun mengaduh, namun
ia juga tak lagi tertawa riang.
“Bunda
kapan aku sembuh?” tanyanya
“Bunda
ga tau sayang, tapi kita terus usaha dan berdoa yah”
“Kalau
aku sembuh, aku boleh minta sesuatu ga?”
“Emangnya
kamu mau minta apa?”
“Aku
pengen jalan-jalan, pengen liat pantai, boleh ga?”
Aku
terdiam, tersadar akan permintaannya itu. Selama ini kami berusaha mengobati
dan mengobati. Setiap minggu setiap bulannya, kehidupan Fira hanya sekitar
rumah dan rumah sakit saja. Begitu terfokusnya kami terhadap berbagai
pengobatan yang harus dijalan Fira. Membuat kami terlupa bahwa ia juga
membutuhkan hal lain diluar itu.
“Bunda
kok diemmm ajaaa, boleh gaa?” Fira sambil menarik-narik tanganku.
“Nanti
kita tanya om dokter dulu yah sayang”
“Ahhhh,
bundaaa kenapa sih harus tanya om dokter dulu?” ia merajuk.
“Fira,
kita harus tanya om dokter dulu yah sayang....tapi bunda janji bakal ngerayu om
dokter dan ayah supaya kita bisa pergi ke pantai”
“Horeee
janji yah bunda” ia pun menyodorkan kelingkingnya, memintaku untuk balas
menautkan kelingkingku sebagai tanda perjanjian kami.
-------------
Dan
sampailah kami disini, di Bali. Karena Fira meminta pantai, maka tidak ada
tempat yang lebih tepat selain pulau dewata ini. Pulau kecil dengan berjuta
pesona kahyangannya.
Bisa
dibilang ini liburan pertama kami sebagai keluarga, dan aku ingin semuanya
sempurna, akupun mencari tempat terbaik untuk menghabiskan liburan kami. Tempat
dimana kami bisa menikmati keindahan laut, merasakan kenyamanan, berbagai menu
makanan yang menggugah selera, serta paling penting tempat untuk Fira beraktivitas
dan bersenang-senang. Untungnya suamiku pun menyetujuinya, walau harus bekerja
ekstra dan mengambil lembur untuk mendapatkan tambahan agar terwujudnya mimpi
putri kecil kami.
“Bunda, aku laparrrr” ujar Fira setelah
sekembalinya berpetualang menjadi bajak laut.
“Wah
tumben ada yang minta makan duluan, biasanya susah banget”
“Habis
disini enak-enak bunda”
“Fira
mau makan apa? Mau makan disini di rumah pohon, makan bebek, makan masakan
cina? Kamu mau yang mana?
Aku
tersenyum melihat wajahnya yang kebingungan, seolah ia ingin menjawab iya pada
semua pilihan yang kutawarkan.
“Mikirnya
lama ah, sambil mikir dan nunggu ayah nih bunda pesenin banana foster buat kamu.
Baru nanti kita makan siang di Bebek Bengil.”
Ia
pun memakannya dengan lahap, memang suasana di rumah pohon ini sangat nyaman
dan menyenangkan.Tak lama kemudian suamiku datang dan bergabung dengan kami.
Dengan
wajah serius ia menghadap Fira “Fira, ayah mau ngomong sesuatu sama kamu”
“Kita
udah harus pulang ya yah? Ayah udah harus kerja lagi?” sekilas muncul kekecewaan di wajahnya
“Fira
kamu ngerasa capek ga disini?”
“Ngga
ayah Fira ngga capek, Fira ngga usah dibawa ke rumah sakit yah”
Akupun
mulai bertanya-tanya apa gerangan yang ingin disampaikan suamiku. Siapakah yang
tadi ia hubungi? Kantornya kah? Rumah sakit? Atau dokternya Fira yang
menghubunginya?”
“
Kamu yakin Fira? Kamu ga ngerasain sakit?”
“Beneran
yah, Fira ga sakit”
“Apa
sih ayah? Daritadi sebenernya mau ngomong apa?” ujarku tak sabaran
Suamiku
pun menatap kami berdua dengan sungguh-sungguh “Ayah mau ngasih tau, barusan
ayah telepon kantor”........”dan kantor bilang kalau ayah boleh cuti beberapa
hari lagi, jadi kita bisa lebih lama disini”
Sejurus
kemudian Fira memeluk ayahnya. Mereka berdua tertawa lepas, wajahnya begitu
bahagia.
Setelah
dua tahun kami berjuang bersama, sewujud bahagia itu akhirnya kami dapatkan
dalam beberapa hari ini. Pahitnya kenangan akan rumah sakit berganti menjadi
kenangan ceria penuh tawa. The Bay Bali kau menjadi saksi atas memori indah
ini, dimana kembalinya senyuman anakku, dimana ia sejenak melupakan sakitnya,
dan membuat kami menjadi orang tua yang bangga karena mampu mewujudkan mimpi
buah cintanya.
Tuhan
aku tidak tahu apa keputusanmu atas nasib anakku shafira, namun aku
berterimakasih telah menganugerahkan ia dalam kehidupan kami. Terimakasih kami
diizinkan untuk belajar menjadi orang tua. Terimakasih telah mengajarkan arti
hidup.....maafkan aku Tuhan jika dulu aku mempertanyakan rencana dan
Kehendak-Mu.
Aku
Rosa, aku adalah ibu yang sangat beruntung dari seorang putri cantik yang kuat
Subscribe to:
Posts (Atom)