Sunday, August 24, 2014

ALUNAN DHAROHAR


Berlatarkan langit gelap, gedung tua itu berdiri anggun, guratan sejarah menyeruak,  cat yang tak lagi seluruhnya melapisi menunjukkan kecantikan yang tak habis dilekang waktu. Temaram cahaya lampu membuat suasana menjadi syahdu dan romantis. Tak percaya kami baru saja berpacu dengan waktu melewati keruwetan lalu lintas, melewati puing-puing gedung serta lorong-lorong gelap untuk sampai kesini. Kerumunan wisatawan sudah memenuhi taman yang menjadi area pertunjukkan, mereka bersila di atas hamparankasur tipis di bagian depan, di barisan berikutnya tersedia dipan-dipan rendah yang dapat digunakan bersamaan. Selanjutnya barisan kursi dan penonton yang memilih untuk berdiri agar dapat melihat lebih baik.

Lampu-lampu disekitar kami kemudian digelapkan, sehingga semuanya terfokus pada satu titik di bawah pohon tua. Berpakaian khas India lengkap dengan sorbannya, seorang pria membuka acara dan mengantarkan kami ke berbagai pertunjukkan yang akan ditampilkan. Untuk penampilan pertama dibuka oleh suami istri yang berumur di atas 70 tahun namun kedua badan mereka masih berdiri tegap. Dengan diiringi oleh sebuah alat musik gesek mereka bernyanyi, suara tua yang keluar dari mulut mereka justru menjadikan nyanyian mereka terdengar unik sambil sesekali sang pria berjoget-joget kecil, mengundang senyuman dan bisikan diantara penyimaknya.

Berikutnya dua orang wanita, berumur pertengahan 50an, yang satu menggunakan sari berwarna putih dengan pinggiran merah, dan yang satu lagi menggunakan sari berwarna biru gelap. Mereka kemudian mengambil posisi duduk dengan kaki terjulur. Sedikit bingung dengan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Rupanya berbagai macam lonceng terikat pada tubuh mereka, di kepala, sikut, bahu, telapak tangan, lutut serta ujung kaki mereka. Dan kemudian pemusik pun memainkan alat musik mereka, langsung saja kedua wanita itu bergerak dengan sangat lincahnya memainkan lonceng-lonceng yang ada pada tubuh mereka, semuanya dipukul, dikencringkan dengan nada yang seirama dan indah. Penonton dibuat terkesiap dengan kelincahan mereka, berbagai manuver seperti gerakan silat mereka lakukan dengan lincahnya selama setengah jam tanpa henti. Keringat mulai nampak pada wajah mereka, namun mereka tetap tersenyum.

Decak kagum tak kunjung berhenti, hatikupun semakin membuncah. Berbagai atraksi susul-menyusul, pertunjukkan boneka kayu nan menggemaskan, gerincing ratusan lonceng kecil mengiringi tarian luar biasa lincah seorang gadis kecil yang membuat penonton bertepuk tangan sesuai hentakkan kakinya, kemudian lima orang penari dengan sari berwarna-warni muncul dan membuat lingkaran, mereka menari dengan gerakan-gerakan dinamis membuat lingkaran besar kemudian kecil, berputar dan terus berputar bagaikan gasing. Kibasan-kibasan sari mereka seolah membuat torehan pelangi, membuat semua yang hadir terpukau.
Kemudian wanita tua yang sebelumnya memainkan lonceng di awal pertunjukkan kembali hadir seorang diri, kami bertanya-bertanya apa kejutan berikutnya yang akan ia tampilkan. Ia melempar kendi besar dengan menggunakan kakinya dan menangkapnya dengan ujung kepalanya. Kemudian berturut-turut ia melemparkan kendi dengan ukuran lebih kecil terus seperti itu  hingga kendi yang terkecil sehingga ada 7 tingkat kendi diatas kepalanya, aku bertanya-tanya bagaimana bisa leher dan kepalanya begitu kuat menahan beban sebanyak itu dan tetap menjaga keseimbangan. Seolah hal tersebut tak cukup membuat kami tercengang kemudian ia menginjak-injakkan kakinya diatas pecahan beling, dan menutup pertunjukkan dengan senyuman lebar. Sontak kami semua yang hadir disitu berdiri dan memberikan tepuk tangan kagum tanpa henti. Dan akupun menangis penuh haru sambil berpelukkan dengan kakakku. Masih tak percaya mimpiku terwujud indahnya lebih dari yang kubayangkan.

Peristiwa ini takkan pernah kulupakan seumur hidupku. Tak percaya rasanya, akhirnya aku mencapai impian terbesarku, yaitu menapak di tanah India. Setelah 10 tahun menanti dan mendamba dengan berbagai keraguan. Berawal dari kesukaanku menyaksikan film-film Bollywood, kemudian aku pun jatuh hati terhadap semua hal yang berbau India. Bukan hanya mengkoleksi film-filmnya, aku pun mengumpulkan berbagai macam aksesorisnya. Mulai dari baju, gelang, kalung, sendal, bahkan merubah kamarku menjadi kerajaan kecil India tersendiri. Sudah jelas impian terbesarku adalah pergi ke India.

Tentu saja masih banyak orang yang keheranan dan menganggap norak karena kesukaanku  tersebut.  Namun setiap tahun kecintaaan dan keinginan untuk ke India semakin kuat. Banyak yang menyarankan untuk tidak pergi kesana, karena kata mereka India itu kumuh, miskin, jorok, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Aku tidak peduli dengan semua perkataan tersebut.

Takdir datang pada waktu yang tak diduga. Di suatu siang yang tenang, sambil mengerjakan tugas-tugas kantor, aku mendapat kabar bahwa Air Asia sedang sale termasuk perjalanan ke India. Aku harus segera mengambil keputusan karena hari itu adalah hari terakhir. Tentu saja aku segera mengiyakan, walau sesudah itu aku baru menyadari bahwa tabungan tak ada, pun gaji seadanya, tapi aku tetap nekat.

 2 Maret 2012, 09.00 pagi aku, suami, dan kakakku sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta terminal 3. Setelah melalui proses check in dan Imigrasi, aku masih belum mau percaya. Jam 11.00 kami memasuki pesawat Air Asia QZ7696 yang didalamnya didominasi warna merah yang memberi semangat. Aku duduk di kursi tengah, cukup dekat dengan jendela untuk melihat pemandangan di luar, dan cukup dekat untuk ke toilet karena perasaan gugup yang mendera. Comfort kit dan In Flight meal yang kami pesan untuk perjalanan tersebut cukup membuatku nyaman. Bahkan suamiku berkata nasi lemak yang kami makan saat itu adalah yang terenak yang pernah dia coba, terang saja pada saat disajikan nasi lemak itu masih panas dan wanginya sudah menggoda hidung bahkan sebelum tutupnya dibuka.

Semakin dekat, semakin terasa mau pecah dada ini karena gundah. Pada saat kami memasuki India, malam sudah tiba, gelapnya malam berdampingan dengan ratusan penerangan yang tampak indah dilihat dari atas. Bersabar untuk keluar bergantian dari pesawat yang mendarat dengan mulusnya, akhirnya aku pun menghirup udara India. Aku berhasil menjejakkan kakiku di tanah Impian. Rasa syukur, haru dan bahagia, membuncah di dada. AKUUU BERHASIIILLL menggapai keinginan terbesar dalam hidupku, membuatku ingin tertawa dan tersenyum hingga wajah ini terasa pegal.

Di titik ini pula hidupku berubah. Semenjak itu aku jadi lebih berani untuk bermimpi. Dan kalimat “tak ada yang tak mungkin” menjadi motto hidup. Kini ada tiga cita-cita yang menantangku untuk diwujudkan. Aku ingin menjelajah pulau-pulau di Indonesia, kemudian menjelajah dunia.  Serta cita-citaku yang terdalam untuk menjadi seorang penulis buku anak. Walau kini telah menjadi Ibu dari seorang anak laki-laki tetapi itu bukanlah penghalang, namun justru sebagai penyemangat. 






Sunday, August 17, 2014

KEHANGATAN NEGERI REMPAH


Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 69...maaf saya sebagai anak bangsa belum bisa membalas jasa...yang bisa saya lakukan hanya berbagi kisah tentangmu Indonesia. Dan Ini kisah saya mengenai perjalanan saya ke Ambon.

Rasanya belum hilang dari ingatan tragedi kerusuhan Ambon pada rentang waktu tahun 1998 hingga 2000. Walau aku tak mengalaminya langsung. Namun berbagai macam pemberitaan media massa pada waktu itu, menimbulkan kengerian bagi siapa saja yang mengikuti pemberitaannya. Bagaimana tidak, bayangkan saja puluhan hingga ratusan korban yang tewas, ditambah terbakarnya rumah-rumah dan tempat ibadah, darah tergenang di jalanan kota, jerit dan tangis terdengar setiap harinya. Berharap besok masih ada nyawa, berharap besok mimpi buruk ini berakhir.

Was-was, sedikit bingung, tak terbayangkan apa yang akan aku temui ketika akhirnya pada tahun  2011 aku mendapat tugas liputan ke kota Ambon. Memang masa kelam itu sudah berakhir lama, tetapi tragedi tersebut masih membayangi. Dalam keadaan lelah dan mengantuk, aku dan tim akhirnya menjejakkan kaki di kota Ambon. Maklum saja kami mengambil penerbangan jam 1 pagi setelah sebelumnya tetap bekerja terlebih dahulu. Dalam keadaan seperti itu, jujur saja aku tidak begitu memperhatikan apa saja yang terdapat di kota ini, bahkan aku hanya menyadari bahwa penginapan kami berada di tepi pantai. Setelah berisitirahat dan cukup segar, kami langsung mengunjungi dua “landmark” Ambon yaitu Pintu kota dan Tugu Martha Christina Tiahahu disana pula kami menyaksikan tenggelamnya matahari. Sejauh ini aku mendapati kota yang damai dan normal, tidak seperti bayanganku sebelumnya. Malam itu aku lebih memilih istirahat karena esok kami harus bangun pagi sekali.

Ketika pagi tiba, setelah cuci muka dan gosok gigi aku pun mencari teman-temanku karena biasanya mereka mengambil gambar matahari terbit. Setelah menyusuri pantai tidak juga aku menemukan mereka. Hanya ada seorang tukang sapu yang sedang membersihkan halaman hotel dari daun-daun yang berjatuhan. Aku pun mengarah ke kamar temanku yang kebetulan searah dengan halaman hotel. Lalu ketika aku mendekat tukang sapu itu tiba-tiba menyapaku
“Selamat pagi nona”,
 “Selamat pagi” jawabku.
“Maaf bolehkah saya membersihkan sampah kulit duren di kamar sana?” menunjuk ke arah kamar temanku yang nampaknya semalam mengadakan pesta duren.
“Oh iya silahkan saja”
“Saya daritadi sudah ingin membersihkan, tetapi tak enak kalau tidak izin dulu, takut mengganggu”
“Oh tidak apa-apa pak”
“Terimakasih banyak” ujarnya lagi
“Justru saya yang harus terimakasih”

Iapun segera beranjak ke arah beranda kamar temanku dan membersihkan sampah kulit duren. sudah lama rasanya aku tidak menemukan orang seramah dan sesopan bapak tadi.
Hari itu kami pergi ke benteng Amsterdam, tidak ada tarif khusus untuk masuk kesana, kami hanya dikenakan biaya donasi untuk pemeliharaan gedung. Di dalamnya tak ada hal yang istimewa karena gedung itu kosong, tanpa ada barang-barang historis seperti pada umumnya sebuah museum. Gedung itu sendiri terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama tidak ada hal yang menarik perhatian kami kecuali plakat tentang sejarah pembangunan benteng Amsterdam. Namun ketika di lantai 2 dan 3 barulah kami menemukan hal istimewa yang berupa jendela-jendela yang langsung menghadap ke laut yang biru dimana dapat terlihat pulau seram.

Lokasi benteng Amsterdam berada di desa Hila, dimana disana pula terdapat gereja tertua. Melihat gereja tua yang terkunci dan sunyi kami sedikit kebingungan. Namun tak lama ada sekelompok ibu-ibu di seberang gereja yang memanggil kami dan menanyakan maksud kami kesana. Setelah menjelaskan tujuan kami, tanpa diminta salah satu ibu bercerita tentang kerusuhan ambon yang terjadi pada akhir tahun 1998. Gereja termasuk korban dalam kerusuhan tersebut, ternyata bangunan yang ada di hadapan kami bukan bangunan asli karena bangunan aslinya telah habis dibakar pada saat kerusuhan. Kejadian itu sangat disayangkan oleh bu acha, salah satu ibu yang kami ajak ngobrol, beliau berkata “bangunan itu tak bersalah kenapa harus diapa-apakan” walau bangunan ini digunakan oleh umat kristiani namun bangunan ini dijaga oleh umat islam yang tinggal di sekitarnya. Setelah mendapatkan cukup gambar untuk bahan liputan, kami pun beranjak dari sana.

Kami pun pergi ke desa Kaitetu yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari desa Hila. Disanalah terdapat mesjid tertua di Ambon. Melihat jarak desa yang berdekatan ini seolah menggugurkan rumor bahwa umat Islam dan Kristiani bermusuhan. Mesjid tua Wapauwe terletak di dalam perumahan penduduk. Posisinya berada rapat dengan rumah-rumah penduduk mengelilinginya, serta banyak pohon mangga tumbuh disekitarnya. Yang ternyata itulah asal usul nama Mesjid Wapauwe, yang berarti pohon mangga hutan dalam bahasa Kaitetu.

Saat itu aku hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Sehingga aku tidak berani masuk ke dalam Masjid, hanya mengamati dari luar sembari mencatat sejarah mesjid Wapauwe yang terpampang besar di samping masjid. Tiba-tiba ada seorang ibu yang berteriak memanggilku, beliau menyuruhku untuk duduk bersamanya di teras rumahnya. Setelah memperkenalkan diri dan maksud kami datang ke Ambon, dia memintaku untuk memberitakan bahwa tidak ada masalah antara umat Islam dan Kristiani di Ambon. Lalu ia pun bercerita sambil matanya menerawang, dulu sebelum kerusuhan terjadi umat kristiani dan muslim hidup berdampingan dan saling membantu. Setiap hari-hari besar keagaaman mereka selalu bergotong royong dan menghormati satu sama lain. Entah darimana dan bagaimana kerusuhan dimulai, yang meraka tahu dan mereka yakini bahwa siapapun yang memulai isu yang memecahkan kerukunan beragama disana, bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari luar Maluku, bukan penduduk asli. Ketika peristiwa itu terjadi, orang saling membunuh dan memburu, namun sesama umat muslim dan kristiani disana saling membantu dan memberikan perlindungan kepada siapapun yang membutuhkan. Akan tetapi mereka yang dahulu bertetangga, akibat peristiwa tersebut menjadi berpisah jarak. Keinganan ibu itu sederhana beliau hanya ingin Ambon kembali damai seperti sedia kala.

Ketika beliau bercerita, tanpa sadar para tetangga pun ikut berkumpul disana dan saling menimpali cerita. Kami mengobrol banyak termasuk berkisah tentang keajaiban mesjid tua yang terletak persis di sebelah rumahnya. Beliau pun menanyakan apa aku sudah sembahyang, dan kujawab belum. Beliau berkata bahwa aku harus merasakan sholat di mesjid tertua tersebut, karena sayang sekali sudah jauh-jauh datang tapi tak sholat disana. Lalu dengan sungkan mengatakan bahwa saya malu baju saya tak pantas masuk mesjid. Ibu itu pun meminta teman-temannya agar membantu saya. Kedua ibu yang lain membantu saya mengambilkan mukena dari dalam mesjid, agar saya bisa langsung mengenakannya begitu saya selesai mengambil air wudhu di luar mesjid. Untuk saya Mesjid ini memang sederhana namun membawa kenyamanan dan ketenangan beribadah di dalamnya, bersyukur saya diberi kesempatan untuk melaksanakan sholat disini. Kedua ibu tadi menunggu dengan sabar hingga saya menyelesaikan sholat saya, dan kemudian mereka menunjukkan bagian-bagian penting dari mesjid. Mesjid yang dibangun pada tahun 1414, mempunyai keunikan tersendiri yaitu dibangun tanpa menggunakan paku satu pun. Selain itu pula disini terdapat mushaf Al-Quran tertua di Indonesia, yang ditulis  tangan oleh Muhammad Arikulapessy imam pertama masjid Wapauwe. Menjadi suatu kebiasaan disini, jika ingin berpergian jauh, mereka datang ke Mesjid Wapauwe dan menunaikan ibadah dulu disini untuk berdoa mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Dengan berbagai keunikannya tak heran mesjid ini menjadi kebanggaan umat muslim Ambon. Hingga kami pergi dari sana kami terus ditemani oleh warga desa Kaitetu, dan tak lupa senyuman dan lambaian tangan mereka berikan, mengiringi kepergian kami.

Maluku kaya akan berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah, itu pula yang menyebabkan bangsa asing datang kesini, yaitu untuk menguasai rempah-rempah sehingga dapat meraih untung dan mengendalikan perdagangan dunia. Jadi tak sempurna rasanya jika datang ke Ambon tanpa napak tilas sejarah para pahlawan, khususnya kisah keberanian Thomas Matulessy dalam melawan penjajah, beliau juga dikenal dengan julukan Kapitan Patimura. Pulau Saparua adalah tujuan kami selanjutnya. Sebelum pergi pemilik hotel memastikan apa kami sudah ada orang untuk menemani. Walau memang sudah ada orang yang aku hubungi untuk menemani, tapi membuatku bertanya ada apa gerangan. Ternyata belum lama ini terjadi  bentrokkan antar desa di Pulau Saparua dan dikhawatirkan keadaan masih tegang, sehingga diperlukan pendamping untuk menemani kami. Tak lama pak Johanis atau kami memanggilnya pak Yanes datang, beliau berperawakan mungil dan berusia lebih kurang 50 tahun. Setelah melihat kedatangan beliau, pemilik hotel pun lega dan meyakinkan bahwa bersama pak Yanes semuanya aman.

Dari pelabuhan Leihitu kami mengambil kapal cepat untuk sampai ke Saparua. Satu hal yang saya perhatikan tentang pak Yanes, beliau disegani banyak orang. Di setiap pelabuhan manapun biasanya para calon penumpang diserbu calo tiket ataupun portir yang berebutan mengangkut barang, dimana keadaan tersebut selalu membuatku risih dan harus ekstra waspada. Namun begitu mereka melihat kami bersama Pak Yanes, mereka semua langsung pergi menjauh, tanpa pak Yanes mengucapkan kata sepatah pun.

Setelah satu jam perjalanan akhirnya kapal kami hampir tiba di Pulau Saparua, yang ditandai terlihatnya salib besar yang terletak di pinggiran pulau Saparua, seolah menyambut para pengunjung. Dan lagi-lagi ketika sampai kami pun diserbu oleh para supir angkutan umum, yang tentu saja segera bubar ketika melihat pak Yanes. Kami pun menyewa salah satu mobil angkutan umum untuk mengantar kami ke desa Porto dan desa Haria. Di desa Portolah terletak gereja tua Irine, dimana disanalah berdiri salib besar yang tadi terlihat dari kejauhan. Sebelum memasuki desa Porto, pak Yanes mengajak kami untuk ke rumah Kepala Desa terlebih dahulu untuk mendapatkan izin. Ternyata kami hanya bertegur sapa dan izin sekedarnya. Pak Yanes berkata bahwa sebenarnya bisa-bisa saja langsung masuk ke gereja Irine tetapi sopan santun dan kekerabatan harus tetap dijaga. Aku pribadi sangat menyetujui hal itu.

Setelah mengambil gambar dan berbagai keterangan tentang gereja Irine. Kami pun beristirahat sejenak di salah satu warung di seberang gereja, karena hari itu panasnya begitu terik. Warung ini menurutku sangat manis, mengingatkankku pada film-film lama. Warung ini merupakan bagian kecil dari rumah kayu berwarna kuning, dimana di pekarangannya terdapat berbagai tanaman dan bunga warna-warni, dan dikelilingi pagar kayu warna putih, walau tidak besar tetapi terasa manis sekali.

Walau kami hanya memesan minuman dingin, tetapi pemilik warung tidak berkeberatan sama sekali. Beliau pun ikut bercengkerama dengan kami. Walau beliau tidak mau bercerita banyak, syukurlah ternyata ketegangan antar desa  yang dikhawatirkan sebelumnya ternyata sudah berakhir.

Kemudian tibalah kami di Desa Haria. Kami berkunjung ke rumah Kapitan Pattimura. Rumah kecil ini ternyata menyimpan berbagai kisah tentang Kapitan Pattimura mulai dari asal-usul, silsilah, sejarah perjuangan hingga beberapa peninggalan beliau. Aku berharap bahwa ke depannya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada rumah bersejarah ini, yang mulai lapuk dimakan usia. Kemudian kami singgah di Wei Sisil, dimana daerah yang tenang dengan air laut jernih ini pernah menjadi lautan darah. Darah para penjajah yang mati ditangan para pejuang yang hanya bermodalkan bambu dan parang. Oleh karena itu disini terdapat tugu untuk menghormati jasa para pejuang.

Tak jauh dari sana terdapat benteng Duurstede, benteng yang terlihat sangat kokoh dari luar namun ternyata di dalamnya hanyalah puing-puing tersisa. Benteng ini juga merupakan lambang perlawanan rakyat saparua dalam melawan penjajah, tentu saja dibawah pimpinan Kapitan Pattimura. Dari pak Yanes kami juga mengetahui bahwa Pattimura, berasal dari kata Patti yang berarti Raja, sedangkan Murah berarti Sepenuh hati. Mengetahui berbagai perjuangan dan keberanian Thomas Matulessy demi kebebasan rakyat Maluku tak heran beliau mendapatkan julukan tersebut.

Hari sudah mulai sore, dan kami harus segera ke Pelabuhan jika ingin mengejar kapal untuk kembali. Selain berbagai kisah tentang keberanian para pahlawan maluku. Saya juga mempelajari satu hal, bahwa pribahasa jangan menilai buku dari sampulnya benar adanya. Itulah gambaran tentang sosok pak Yanes. Perawakannya yang kecil dan sedikit tua, tapi ternyata memliki berbagai kelebihan. Baru kali ini kami pergi dengan seseorang yang benar-benar mengetahui berbagai sejarah daerahnya, disegani banyak orang, serta sangat membantu kami dalam segala hal, sehingga pekerjaan kami pun terasa lebih mudah. Yang paling utama beliau pun tidak pamrih sama sekali.

Setelah menghabiskan waktu beberapa hari di Ambon, sudah saatnya kami pergi ke daerah lain. Tujuan kami berikutnya adalah Pulau Seram. Namun sebelum kami pergi dari kota Ambon, ternyata pemilik penginapan meminta kami untuk makan malam di Hotel karena mereka telah menyiapkan sesuatu untuk kami. Setelah liputan terakhir hari itu kami pun segera pulang ke hotel untuk memenuhi undangan pemilik hotel. Dan benar saja di sebuah saung yang terdapat disana sudah disediakan berbagai macam makanan. Mulai dari hidangan laut, hingga makanan khas Maluku yaitu Papeda dan ikan kuah kuning.

Bisa dibilang berkumpul dan bernyanyi merupakan kegiatan kesukaan masyarakat Maluku. Selain aku dan tim yang berada disana malam itu, pemilik hotel juga mengundang beberapa orang teman-temannya termasuk pak Yanes. Setelah selesai makan malam, tak lama mereka pun mengambil gitar dan mulai bernyanyi. Suara mereka benar-benar bagus dan merdu. Tak heran Glenn Fredly sang penyanyi terkenal Indonesia memiliki suara seindah itu, karena memang ternyata daerah kelahirannya terkenal akan orang-orang bersuara merdu. Kebanyakan mereka menyanyikan lagu-lagu Ambon, walau aku tak mengerti namun aku sangat menikmati. Melalui lagu-lagu berbagi tawa berbagi kisah. Malam semakin larut, lagu-lagu dinyanyikan namun suasana seketika berubah syahdu ketika pak Yanes menyanyikan lagu  Maluku Tanah Pusaka

Maluku Tanah Pusaka
Maluku Tanah Pusaka
Nyong Ambon

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..

Sio maluku tampa beta putus pusa e
paser putih aluse gunung deng tanjong 
beta seng lupa e

ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

nusa ina 
katong samua dari sana

biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..

ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

nusa ina 
katong samua dari sana

biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka

nusa ina
itu tanah asal ee

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise
gandong E

“Dari ujung Halmahera hingga Tenggara jau katong samua basudara”....itulah bagian lirik yang menyentuh hatiku dan hingga kini selalu terngiang-ngiang dalam benakku. Untukku lagu itu mengingatkan kita bahwa apapun latar belakang suku, budaya, dan agama, kita semua tetap bersaudara. Terimakasih atas segala keramahanmu hai Negeri Rempah, kehangatanmu membuatku berjanji untuk datang kembali dan mengenalmu.
Friday, July 4, 2014

DUA MATAHARI TERBIT

Dinginnya kota magelang pada jam 3 pagi membuat siapapun ingin tetap meringkuk di balik selimut dan tetap berada di dunia mimpi. Tidak begitu dengan saya, walau sedikit enggan sayapun mulai bersiap-siap. Tuntutan pekerjaan kali ini membuat saya dan tim harus mengejar matahari terbit.

Jalanan menuju candi Budha yang termegah dan terkenal tentu saja masih gelap dan lengang. Untuk mengusir rasa kantuk yang terus menghinggapi saya pun terus berpikir akan melihat keajaiban yang akan terjadi.

Sesampainya di komplek candi Borobudur, penghubung kami yang merupakan orang dinas taman candi, membawa kami terlebih dahulu ke sebuah hotel. Hotel yang memang masih terletak di areal candi, ternyata menjadikan “pertunjukkan” matahari terbit di candi Borobudur sebagai daya tarik hotelnya.

Sedikit terkejut ketika mengetahui ternyata cukup banyak wisatawan asing yang berminat untuk melihat pergantian pagi ini. Berbekal senter dan mempercayakan jalan kepada satu orang, namun sudah hafal betul seluk beluk candi. Kami pun naik hingga tingkat tertinggi yaitu bagian arupadatu dimana disanalah stupa-stupa berada. Stupa-stupa yang dipercaya jika berhasil menyentuhnya maka akan mendatangkan rezeki. Yang belakangan kami tahu itu hanya mitos buatan saja.

Masih ada satu jam hingga terbitnya sang surya. Ada yang sudah memasang tripod kamera untuk mendapatkan posisi terbaik ketika jam magis itu tiba, ada juga yang memilih tempat untuk menunggu sambil tertidur sejenak.

Jam 5 kurang, semburat cahaya mulai mewarnai langit. Terucap syukur dan kekaguman tak ada habisnya, ketika hangat matahari mulai menggantikan rasa dinginnya malam. Ada yang terpukau, ada yg sibuk mengabadikan peristiwas tersebut dan ada juga yang memberikan penghormatan melalui gerakan-gerakan yoga.

Sinar matahari yang jatuh di sisi-sisi candi memberikan keindahan yang berbeda-beda di setiap sudutnya. Walau sudah kesekian kalinya mengelilingi bagian candi di tingkat teratas tersebut, namun kali  ini berbeda. Kejutan keindahan menunggu untuk ditemukan bagi mereka yang mau menelusurinya. Tak heran para wisatawan asing mau membayar mahal demi hadir di peristiwa magis ini. Peristiwa magis yang menyatukan berbagai orang dari berbagai belahan bumi, dengan latar belakang yang berbeda-beda, dengan caranya masing-masing, mengucap rasa syukur yang sama.

Matahari sudah sepenuhnya muncul, dan tak lama kemudian tiba-tiba rombongan anak SD sekitar kelas 3 atau 4 datang, lengkap dengan seragam dan buku serta alat tulis ditangan. Muka mereka begitu semangat walaupun sudah menaiki puluhan tangga candi yang cukup membuat terengah-engah. Entah mengapa rombongan ini menarik mata saya untuk melihat apa yang akan mereka lakukan.
Mereka pun berpencar ada yang berkelompok ada yang sendiri-sendiri. Ternyata mereka mulai mendekati turis-turis mancanegara. “Hallo my name is...” How do u do?” ...”What is your name?”. Where do u came from?” inilah  beberapa kalimat bahasa inggris yang keluar dari mulut mereka, ada yang terlihat yakin ada juga yang terbata-bata karena takut.

Orang yang mengantar kami pun menjelaskan bahwa anak-anak ini datang dari desa yang jaraknya lebih kurang 4 jam dari candi borobudur. Biasanya anak-anak ini sudah kumpul di sekolah masih masing-masing mulai dari tengah malam, agar dapat tiba pagi hari di Candi Borobudur. Biaya untuk transportasi pun merupakan hasil patungan antara pihak sekolah dan orang tua murid, dan dilakukan selama berbulan-bulan. Bisa dibayangkan, jangankan tempat les bahasa Inggris, buku pelajaran pun mereka harus berbagi karena keterbatasan biaya. Oleh karena itu hal ini mereka lakukan, karena inilah jalan satu-satunya agar anak-anak ini dapat belajar bahasa Inggris. Kegiatan ini dilakukan beberapa bulan sekali mulai dari anak kelas 3 hingga 6 SD. Jangan bayangkan perjalanan dengan kendaraan yang nyaman dan ber-AC untuk menempuh waktu 4 jam, bus-bus omprengan yang sudah tualah yang biasa mereka pakai.

Betapa malunya saya, menyadari tadi pagi sempat sedikit berat hati untuk bekerja, sangat berbeda dengan anak-anak itu yang datang penuh semangat. Senyuman terus merekah pagi itu, ketika melihat reaksi wisatawan mancanegara. Para turis asing ini dengan penuh senyuman menjawab setiap pertanyaan anak-anak tersebut. Jika ada anak yang terlihat gugup mereka pun tak ragu memberikan rangkulan. Wajah anak-anak pun semakin bersemangat jika sudah berhasil mendapatkan turis di wawancara. Kompetisi antar anak pun terlihat ketika yang satu berhasil mendapatkan banyak nama yang telah diwawancara, maka yang lain tak mau kalah.

Hari itu saya menyaksikan dua matahari terbit, yaitu dalam arti sesungguhnya. Sedangkan yang satu lagi adalah anak-anak itu. Semangat mereka, merupakan wujud nyata bahwa masih ada harapan untuk negeri ini. Mudah-mudahan cahaya itu tak pernah padam.


Saturday, June 21, 2014

HEI...BECAK

Tak banyak lagi kota yang memilikinya
Beruntung bagi yang masih menjumpainya
Rodanya tiga, dikayuh bapak tua
Takkan pernah secepat mobil atau motor sekalipun
Namun mampu menghalau panas dan hujan
Percayalah...Naik becak itu lebih mewah
Bersantai merasakan angin sepoi-sepoi
Melihat pemandangan kota lebih seksama
Dapat bertegur sapa dan saling melempar senyum
Atau berbagi cerita dengan abang pengkayuh becak
Hanya dengan naik becak pengalaman sudah bertambah
Hei becak...hanya ini harapku
Tetaplah tangguh sehingga zaman apapun tak bisa menghilangkanmu

Tuesday, April 15, 2014

MENANTI BAHAGIA

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali www.thebaybali.com& Get discovered!


Kubuka lagi amplop cokelat dalam genggamanku. Berkali-kali kumelihat isinya hingga amplop itu menjadi kusut. Sebisa mungkin ku menahan jatuhnya airmata. Berulang kali aku melihat jam tangan, jam di dinding restoran, mengetuk-ngetuk sendok di cangkir, mengelap keringat, menanti suamiku yang tak kunjung datang.

Pelayan sudah datang kesekian kalinya memberitahuku, bahwa crispy duck pesananku sudah siap disajikan. Namun aku memilih menunggu suamiku datang terlebih dahulu. Karena crispy duck dari Bebek Bengil ini selalu menjadi makanan favoritnya. Jadi paling tidak mood suamiku dalam keadaan yang baik ketika menyampaikan berita ini. Oh... Tuhan kenapa waktu berjalan sangat lambat, penantian ini menyiksaku. Aku ingin semua segera berlalu. Rasa sesak ini sudah memenuhi dadaku.

10 tahun sudah kami berumah tangga namun tak kunjung juga hadir buah cinta dari pernikahan ini. Awalnya kami menghadapinya dengan santai dan menikmati waktu “bulan madu” panjang kami.  Namun lama kelamaan usia pun bertambah. Aku sudah menginjak 35 tahun, kekhawatiran itu pun muncul. Ditambah lagi setiap ada teman kami yang hamil anak yang kesekian, bercerita tentang tingkah laku anaknya, atau bahkan menceritakan anaknya yang sedang sakit dan membutuhkan perhatiannya, semua itu membuat hati ini teriris-iris.

 Gaya hidup kami pun berubah, kami menjauhi “junk food” serta gorengan dan melakukan gaya hidup sehat. Bahkan suamiku pun sudah membuang jauh-jauh kebiasaan merokoknya. Setiap ada yang pergi umroh atau haji aku tak lupa minta dibawakan bunga kurma, yang konon katanya manjur untuk segera hamil. Tetapi entah berapa banyak bunga kurma yang sudah kumakan, bukan hanya bunga, buah, mungkin biji atau pohonnya sekalian aku makan supaya cepat hamil.Dari cara mitos maupun medis kami lakukan semua, gerakan-gerakan a,b,c,d,....z sudah kami praktekkan agar cepat hamil. Bahkan beberapa kali inseminasi buatan di beberapa rumah sakit.Namun lagi-lagi hasilnya nihil.

Suatu hari aku tak sengaja mendengar obrolan Mertua dan suamiku, beliau mengatakan bahwa ia malu ditanya kawan-kawannya mengapa belum juga punya cucu. Beliau yakin kesalahan berada dalam garis keluargaku, karena garis keluarga pihak suamiku semuanya dikaruniai banyak anak. Hanya aku dan suamiku yang belum juga mempunyai anak. Namun, itu belum seberapa dibandingkan perkataan beliau selanjutnya. Beliau bilang bahwa ia sudah menemukan calon untuk suamiku. Ya...calon istri kedua, yang bisa memberinya keturunan. Belum sempat suamiku menjawab aku sudah masuk kamar dan meluapkan amarahku, hilang sudah sopan-santunku di hadapan mertuaku.
Semenjak itu hubunganku kepada mertuaku memburuk. Parahnya ini juga berdampak pada hubunganku dengan suamiku. Aku mengerti dia berada di posisi terjepit, di satu sisi ia mencintai ibunya dan di sisi lainnya ada aku wanita yang janjikan dicintai sampai akhir hayatnya. Ia berada di posisi dimana kedua wanita ini membutuhkan perhatiannya dan juga pembelaannya. Namun aku tetap tak mau mengerti atas pertimbangan ibunya untuk menghadirkan wanita lain dalam rumah tanggaku.
Setiap kali suamiku bercerita tentang ibunya, komentar sinis selalu keluar dari mulutku. Kadang suamiku terdiam karena tidak ingin ribut denganku, namun di lain waktu ia juga mati-matian membela ibunya, dan aku selalu sakit hati. Belakangan hubungan kamipun hanya sebatas orang yang “kebetulan serumah”. Makan bersama, tidur bersama, tinggal di atap yang sama namun tidak ada lagi kehangatan dan keintiman seperti dulu. Semakin jauhlah keinginan untuk punya anak itu terwujud.

Suatu hari aku melihat artikel tentang bayi tabung. Aku sangat tertarik melihat artikel tersebut lalu aku pun mulai mencari lebih jauh tentang bayi tabung di internet, semakin kubaca semakin tumbuh kembali mimpiku untuk hamil. Akupun menanti kedatangan suamiku  dari kantor dengan tidak sabar. Begitu ia pulang, ia cukup terkejut melihatku yang bersikap manis dan ceria. Aku pun langsung menunjukkan berbagai artikel yang sudah kukumpulkan seharian ini.

“Sayang aku mau kita coba ini”  kataku yang sudah tak sabar menunggu reaksinya.
“Ini sangat menjanjikan, tapi apa kamu tahu perkiraan biayanya? Lihat ini mahal sekali sampai puluhan juta, bahkan kalau kita menggunakan seluruh tabungan kita pun belum cukup.” Balas suamiku
“Aku bisa menjual perhiasan yang aku miliki, dan kamu bisa jual mobil dan ganti dengan mobil bekas” semangatku berapi-api,
“Tapi sayang, bukan aku ga mau...hanya saja biaya yang dikeluarkan terlalu besar” dia menunjukkan ketidakyakinannya
“ Aku yakin cara ini pasti berhasil, banyak pasangan yang seperti kita,menempuh cara ini dan berhasil”
“Tapi, bagaimana kalau  gagal lagi? Apa kita masih sanggup menerima kekecewaan lagi? Bagaimana kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak punya anak!!!!

Lelakiku yang tampan dan gagah, yang selama ini menjagaku.....malam itu menunjukkan kelemahannya, hancur sudah pertahanannya. Melihat wajah suamiku yang memerah, punggung yang menujukkan ketidakberdayaan, membuat aku sadar berapa besar beban yang selama ini ditanggungnya.
Kubelai rambutnya dan kupeluk dia, “Sayang ini terakhir kalinya kita mencoba, kalaupun ini gagal aku ikhlas menuruti kemauanmu dan ibumu, apapun itu.” Dia tak menjawab, malam itu kami berdua hanya diam dan saling berpelukkan, diwarnai isak tangis yang sesekali terdengar.

Beberapa bulan sebelum melakukan program bayi tabung, kami menyiapan fisik dan mental seperti yang disyaratkan oleh dokter. Setelah itu barulah kami memasuki proses bayi tabung, yang terdiri dari 10 tahapan. Sayangnya suamiku tidak dapat menemaniku hingga tiap tahapan terlewati, dikarenakan ia dipindah tugaskan ke Bali. Hal ini membuat aku goyah, karena aku sangat berharap kami dapat melaluinya berdua. Namun, di sisi lain uang kami sudah habis terkuras untuk program ini, jadi aku pun harus tegar walau sendiri. Ia selalu meneleponku setiap malam, untuk mengetahui perkembangan program tersebut, namun pertanyaan-pertanyaanya justru semakin membuatku resah dan terbebani. Hingga akhirnya ia memilih memendam keinginantahuannya, dan membicarakan hal lain tetapi tak sepatahkatapun tentang bayi tabung.

Beberapa minggu berlalu suamiku memintaku untuk menemaninya dinas di Bali. Dia berpikir itu akan baik buat aku, mendapatkan suasana baru serta menangkan pikiran. Tetapi aku menolaknya mentah-mentah, tak tahan rasanya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari temannya “ anaknya kemana kok ga dibawa?” , “oh belom punya anak, kok ga coba di cek ke dokter?” , “udah nyoba a, b, c,d  belom biar cepet punya anak?” , atau yang lebih menganggu “ wah kalau aku malah kerepotan ngurus tiga orang anak”, “eh lihat nih anakku cantik/cakap bukan?” ...Aaarrrggghhh membayangkannya saja sudah membuat aku gerah

Setelah kepergianku suamiku selama tiga bulan, kelakuannku semakin menjadi-jadi. Sering aku berdiam di kamar seharian tanpa makan sedikitpun. Kadang seperti orang kalap’ belanja ini itu. Atau pergi tanpa tujuan hingga larut malam. Berbicara kalau sedang ingin saja, atau menjawab sekenanya ketika orang tuaku menelepon. Aku begitu egois.






 

Malam itu ia meneleponku, bercerita betapa beruntungnya ia kali ini mendapat kesempatan menginap di The Bay Bali, ia akan disana selama beberapa minggu. Ia bercerita tentang kebiasaan barunya di pagi hari yaitu berlari di tepian  pantai yang pasirnya lembut dan bersih, kemudian sesudahnya berlama-lama mencelupkan kaki di lautnya yang jernih sambil menghirup udaranya yang segar. Sore harinya setelah bekerja dan meeting seharian ia akan pergi ke D’Opera untuk berenang atau sekedar bersantai di pinggir kolam sambil membaca buku. Tak lupa tentang petualangan kulinernya disana, hari ini akan makan masakan cina di Hon Xing, di lain hari di Benihana, atau mencoba kembali ke impian masa kecilnya di Pirate Bay, tetapi kesukaannya tetap masakan Indonesia, oleh karena itu Bumbu Nusantara serta Bebek Bengil menjadi tempat favoritnya. Seketika itu aku berkata “ Sayang, aku kesana yah nyusul kamu, ada yang ingin aku bicarakan.”

Dan sekarang disinilah aku berada. Setelah beberapa bulan tak bertemu, masih juga harus menanti beberapa jam,  karena hari ini ia sangat sibuk sehingga ia tak bisa menjemputku d bandara dan baru menemui ketika makan malam. Udara yang sejuk serta bale-bale tradisional yang menghadap sawah-sawah mini, serta pencahayaan dari lilin dan obor, bisa membuat siapa saja merasa terlena, kecuali aku.




Akhirnya aku melihat sosoknya, dari kejauhan ia tersenyum padaku. Senyumnya yang selalu bisa membuat wajahku merona.
“Maaf yah aku lama, tadi kliennya agak rewel jadi aku tertahan lama di tempat meeting” ia bersikap sewajar mungkin
“iya gapapa”
“Gimana kabar kamu? Semua baik-baik aja kan?. Tanyanya sambil menggenggam tanganku.
 “Seperti yang aku bilang sebelumnya, ada yang aku ingin bicarakan”
“Sayang, kamu capek dan aku juga, gimana kalau kita makan dulu yah”
“Ngga harus sekarang pokoknya”
“Kenapa sih baru ketemu kamu udah ketus gitu?....hmmm ya udah apa yang mau kamu obrolin?
“Nih buka aja” sambil menyerahkan amplop coklat yang sedari tadi kupegang
Matanya terbelalak, tangannya menggenggam kencang isi amplop tersebut “Kamu serius?....kamu ga lagi becanda kan?...
Senyum merekah di bibirku ‘ iya sayang aku serius, itu hasil lab dan USGnya....usianya sudah 12 minggu..itu anak kita”
“Kok kamu ga pernah ngasih tau aku? Kalau programnya berhasil”
“Karena aku juga sama takutnya sama kamu....aku bener-bener takut kalau ini gagal lagi”
“Jadi ini alasan kamu suka marah-marah dan sensitif banget akhir-akhir ini?” ujarnya menggoda
“ihhh kamuuu....tapi iya sih, dan itu juga alasan kenapa aku baru kesini sekarang....karena nunggu si ini nih kuat dulu” sambil kuusap perutku.
Ia pun serta merta memelukku, Begitu hangat, begitu erat pelukannya, kecupannya mendarat bertubi-tubi. Wajahku memerah karena begitu bahagianya dan sedikit malu menjadi perhatian banyak orang saat itu. Kami tertawa dan menangis bersama, namun kali ini dengan alasan yang berbeda. Kebahagiaan itu akhirnya datang juga.







Sunday, April 13, 2014

SEWUJUD BAHAGIA

“Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali (The bay bali) & Get discovered!"




Namaku adalah Rosa, aku adalah ibu dari seorang putri cantik bernama Shafira.




“Bundaaaaaa, lihaaattttt...... aku adalah bajak laut penguasa lautan”  seru riang anakku dari atas kapal bajak laut yang terdapat di tepi pantai.
“iya sayang, mainnya hati-hati yah” balasku sembari melambaikan tangan.
Sudah kuduga sebelumnya Fira, nama panggilan puteri kami, akan sangat menyukai Pirate Bay ini, pemandangannya yang langsung ke laut serta berbagai kegiatan yang ditawarkan akan memikat hati anak mana pun, walaupun kemarin ia juga mengatakan menyukai kolam renang dengan kursi-kursi cantik yang terdapat di D’Opera.
----------------
“ Kamu yakin, mau kita ke Bali?” tanya suamiku
“Yakin mas, berapa kali lagi sih kita harus ngebahas ini.....aku mau kita ke Bali, iya kita bertiga!”
“Tapi apa kamu udah pikirin ini semua matang-matang”
“Iya aku udah pikirin semua dan segala resikonya. Aku cuma pengen dia punya kenangan bahagia, bukan kenangan bolak balik ke rumah sakit. Aku ga pengen kita menyesal.” aku terduduk, airmataku jatuh tak tertahankan.
Suamiku pun memelukku, ia menghela nafas panjang. “OK, aku coba atur waktu, aku akan ambil cuti dan beresin semua kerjaan, kita ke Bali yah.”

Bisa dibilang aku adalah salah satu wanita yang beruntung. Setelah lulus kuliah, aku langsung mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan. Beberapa tahun kemudian aku pun menikah  dengan lelaki tampan yang selama ini kukagumi diam-diam. Kamipun mempunyai istana kecil kami sendiri, sehingga kami pun bisa memulai berumah tangga secara mandiri. Keberuntungan tidak hanya sampai disitu, setahun kemudian kami dikarunia seorang putri cantik yang menjadi kesayangan semua orang, karena memang dia cucu pertama baik dari keluargaku maupun keluarga suamiku.

Waktu bergulir, istana kecil kami dipenuhi tawa riang anak semata wayang kami. Namun semakin bertambah usia Shafira seringkali terkena flu dan juga mimisan. Awalnya aku pikir dia sakit biasa saja, hingga akhirnya dokter menyarankan untuk memeriksa secara keseluruhan.
Bagai disambar petir di siang hari, aku masih ingat dengan jelas ketika dokter menyatakan bahwa putri kecil kami terkena leukimia. Orang tua mana yang tidak hancur hatinya ketika anaknya divonis seperti itu.

Leukimia atau kanker darah, bagaimana bisa??? Usianya baru tujuh tahun....Anak sekecil itu sudah menderita penyakit seberat itu. Bermalam-malam aku menangis dalam pelukkan suamiku, mempertanyakan Tuhan atas ketidakadilan ini, dan mengapa bukan aku saja yang terkena? Kenapa harus anakku?.

Bagai orang gila, aku mencari kesana kemari berbagai rumah sakit yang dapat menyembuhkan penyakit anakku. Namun itu belum seberapa, jika dibandingkan ketika melihat anakku menjalani sesi kemoterapi, ketika melihat selang-selang itu ditancapkan ke tubuhnya, ketika obat-obat itu masuk kedalam tubuhnya, dan ketika ia menahan sakit dalam menjalani prosesnya.

Satu hari setelah pulang sekolah, ia menangis begitu kencangnya, ia mengatakan bahwa ia tak ingin lagi sekolah. Ternyata ia menjadi bahan ejekkan karena kepalanya yang hampir botak, walau sudah berusaha ditutupi sedemikian rupa. Dia juga mempertanyakkan mengapa aku membiarkan dokter-dokter merontokkan rambutnya.
Hatiku mencelos, apa dayaku? Apa yang harus kujawab? Bagaimana aku harus menjelaskan? Coba apa yang akan kalian katakan jika kalian berada di posisiku?.

Lambat laun puteriku menerima keadaannya. Memang aku dan suamiku sepakat untuk tidak menutup-nutupi tentang penyakitnya, karena bukankah akan lebih menyakitkan jika kami harus selalu berbohong kepadanya. Dua tahun sudah ia menjalani berbagai pengobatan dan terapi. Putri hebatku tak banyak mengeluh maupun mengaduh, namun ia juga tak lagi tertawa riang.


“Bunda kapan aku sembuh?” tanyanya
“Bunda ga tau sayang, tapi kita terus usaha dan berdoa yah”
“Kalau aku sembuh, aku boleh minta sesuatu ga?”
“Emangnya kamu mau minta apa?”
“Aku pengen jalan-jalan, pengen liat pantai, boleh ga?”
Aku terdiam, tersadar akan permintaannya itu. Selama ini kami berusaha mengobati dan mengobati. Setiap minggu setiap bulannya, kehidupan Fira hanya sekitar rumah dan rumah sakit saja. Begitu terfokusnya kami terhadap berbagai pengobatan yang harus dijalan Fira. Membuat kami terlupa bahwa ia juga membutuhkan hal lain diluar itu.
“Bunda kok diemmm ajaaa, boleh gaa?” Fira sambil menarik-narik tanganku.
“Nanti kita tanya om dokter dulu yah sayang”
“Ahhhh, bundaaa kenapa sih harus tanya om dokter dulu?” ia merajuk.
“Fira, kita harus tanya om dokter dulu yah sayang....tapi bunda janji bakal ngerayu om dokter dan ayah supaya kita bisa pergi ke pantai”
“Horeee janji yah bunda” ia pun menyodorkan kelingkingnya, memintaku untuk balas menautkan kelingkingku sebagai tanda perjanjian kami.

                                                      -------------

Dan sampailah kami disini, di Bali. Karena Fira meminta pantai, maka tidak ada tempat yang lebih tepat selain pulau dewata ini. Pulau kecil dengan berjuta pesona kahyangannya.
Bisa dibilang ini liburan pertama kami sebagai keluarga, dan aku ingin semuanya sempurna, akupun mencari tempat terbaik untuk menghabiskan liburan kami. Tempat dimana kami bisa menikmati keindahan laut, merasakan kenyamanan, berbagai menu makanan yang menggugah selera, serta paling penting tempat untuk Fira beraktivitas dan bersenang-senang. Untungnya suamiku pun menyetujuinya, walau harus bekerja ekstra dan mengambil lembur untuk mendapatkan tambahan agar terwujudnya mimpi putri kecil kami.

 “Bunda, aku laparrrr” ujar Fira setelah sekembalinya berpetualang menjadi bajak laut.
“Wah tumben ada yang minta makan duluan, biasanya susah banget”
“Habis disini enak-enak bunda”
“Fira mau makan apa? Mau makan disini di rumah pohon, makan bebek, makan masakan cina? Kamu mau yang mana?
Aku tersenyum melihat wajahnya yang kebingungan, seolah ia ingin menjawab iya pada semua pilihan yang kutawarkan.
“Mikirnya lama ah, sambil mikir dan nunggu ayah nih bunda pesenin banana foster buat kamu. Baru nanti kita makan siang di Bebek Bengil.”








Ia pun memakannya dengan lahap, memang suasana di rumah pohon ini sangat nyaman dan menyenangkan.Tak lama kemudian suamiku datang dan bergabung dengan kami.
Dengan wajah serius ia menghadap Fira “Fira, ayah mau ngomong sesuatu sama kamu”
“Kita udah harus pulang ya yah? Ayah udah harus kerja lagi?”  sekilas muncul kekecewaan di wajahnya
“Fira kamu ngerasa capek ga disini?”
“Ngga ayah Fira ngga capek, Fira ngga usah dibawa ke rumah sakit yah”
Akupun mulai bertanya-tanya apa gerangan yang ingin disampaikan suamiku. Siapakah yang tadi ia hubungi? Kantornya kah? Rumah sakit? Atau dokternya Fira yang menghubunginya?”

“ Kamu yakin Fira? Kamu ga ngerasain sakit?”
“Beneran yah, Fira ga sakit”
“Apa sih ayah? Daritadi sebenernya mau ngomong apa?” ujarku tak sabaran
Suamiku pun menatap kami berdua dengan sungguh-sungguh “Ayah mau ngasih tau, barusan ayah telepon kantor”........”dan kantor bilang kalau ayah boleh cuti beberapa hari lagi, jadi kita bisa lebih lama disini”
Sejurus kemudian Fira memeluk ayahnya. Mereka berdua tertawa lepas, wajahnya begitu bahagia.

Setelah dua tahun kami berjuang bersama, sewujud bahagia itu akhirnya kami dapatkan dalam beberapa hari ini. Pahitnya kenangan akan rumah sakit berganti menjadi kenangan ceria penuh tawa. The Bay Bali kau menjadi saksi atas memori indah ini, dimana kembalinya senyuman anakku, dimana ia sejenak melupakan sakitnya, dan membuat kami menjadi orang tua yang bangga karena mampu mewujudkan mimpi buah cintanya.

Tuhan aku tidak tahu apa keputusanmu atas nasib anakku shafira, namun aku berterimakasih telah menganugerahkan ia dalam kehidupan kami. Terimakasih kami diizinkan untuk belajar menjadi orang tua. Terimakasih telah mengajarkan arti hidup.....maafkan aku Tuhan jika dulu aku mempertanyakan rencana dan Kehendak-Mu.

Aku Rosa, aku adalah ibu yang sangat beruntung dari seorang putri cantik yang kuat