Siapa yang sering ngeliat anak
kecil yang begitu denger lagu Blackpink, atau BTS langsung nyanyi dan joget
ngikutin para idola tersebut? Sayaaaa…terus siapa disini yang sering ngeliat
anak kecil nari jaipongan atau nyanyi lagu-lagu daerah macam Tokecang? Bukan
sayaaa. Ada yang ngalamin kayak gitu juga?. Yah kalau ngeliat peristiwa ini,
kayaknya tradisi Indonesia susah untuk bertahan yah apalagi regenerasi. Tapi
itu rasa pesimis yang muncul sebelum saya menjejakkan kaki ke desa wisata
Sindang Barang.
Desa Wisata Sindangbarang berada
di daerah Bogor dari stasiun kereta Bogor sekitar 40 menit dengan menggunakan
angkot. Jadi kalau mau dibilang daerah ini jauh dari modern, ya sudah tentu
tidak. Saya kesana barengan dengan rombongan dari Id Corners.
Setelah naik angkot dan beberapa
kali jalan nanjak karena angkotnya ngga kuat, sampai juga kita ke desa Wisata
Sindangbarang. Begitu sampai kami disambut oleh alunan angklung gubrak. Karena
kami datang berombongan, dari desa wisata pun sudah menyiapkan berbagai tarian
tradisional untuk ditampilkan. Jadi begitu sampai, sudah terlihat anak-anak berlalu lalang dengan menggunakan kebaya dan kain.
Bercengkrama sebelum menari |
![]() |
Sebelum tampil |
Mereka juga sama seperti anak
zaman sekarang yang suka main gadget, terlihat ada beberapa anak yang asyik
main handphone sambil menunggu giliran waktunya tampil sambil sesekali
merapihkan pakaian dan dandanannya. Ada pula yang sedang asyik main Enggrang. Umur
mereka pun bervariasi yang paling kecil berumur 5 tahun hingga paling besar
berada di kelas 2 SMU, semuanya memiliki peranan dan keahliannya masing-masing.
Inilah penampilan mereka:
Rampak Gendang
Kaulinan Barudak
![]() |
Main Ucing-ucingan - taken with Fuji XT-100 |
Tari Mojang Priangan
Tari Merak
Buat saya inilah bukti bukan
berarti melestarikan tradisi mengenyampingkan kemajuan zaman, semuanya bisa
berjalan beriringan. Bukan juga eksploitasi anak, ini hanyalah rasa ingin
berpartisipasi dan terlibat dalam terbentuknya desa wisata. Anak-anak juga
tidak dipaksa, mereka datang dengan suka rela mengikuti latihan yang ada di
Sindang Barang secara gratis. Menurut Abah Ukat bukan masalah bagus atau
jeleknya, tapi yang penting anak mau mengenal tarian atau permainan
tradisional.
Lebih jauh lagi harapan beliau
selain penanggung jawab sanggar juga sebagai pelatih silat Cimande.
Pemuda-pemuda yang belajar silat juga dapat mendalami filosofi silat Cimande
tersebut, yaitu menjaga hubungan antar sesama manusia, dan juga sang Pencipta.
Sehingga mereka dapat mengendalikan diri dan menghindari tawuran antar pelajar.
Melestarikan Tradisi Ala Saya
Dulu saya memang pernah belajar
nari jaipong namun itu juga adalah untuk persyaratan nilai muatan lokal di
sekolah, setelah lulus ya sudah berlalu begitu saja. Namun walau begitu di
benak saya tetap masih tersimpan kenangan tersebut. Terus kalau sekarang apa
yang saya lakukan untuk melestarikan tradisi?
Salah satunya yah ini, berkunjung
ke desa wisata kemudian menuliskan, mengabadikannya lewat foto dan
menyebarkannya lewat social media. Beruntung dalam perjalanan kali ini Id
Corners juga memberikan workshop mengenai travel photography dan travel
blogging yang dipandu oleh Uni Raiyani dan mbak Donna Imelda.
![]() |
Uni Rai memberikan materi fotografi |
![]() |
Mbak Donna Imelda memberikan materi penulisan - Taken with Fuji XT 100 |
Dari materi yang disampaikan oleh
Uni Rai, saya mendapatkan perspektif baru dalam mengambil sebuah foto yang
biasanya hanya eye level, namun kami diajak untuk mencoba angle-angle lainnya,
yang hasilnya saat foto banyak adegan nunduk
bahkan tiarap bersama. Sedangkan dari mbak Donna kami belajar untuk
meresapi dan memperhatikan lingkungan dimana kami berada dan menuangkannya
melalui tulisan. Tidak melulu soal fakta, walau memang data dan fakta itu
penting, tapi juga bagamana memasukkan
unur emosi dan perasaan ke dalam sebuah tulisan.
Selain itu kami semua
berkesempatan mencoba kamera Fuji. Saya kebagian yang kamera Fuji XT100 Karena
yang akan kami foto adalah objek yang terus menerus bergerak, rasanya kalau
harus manual akan membuat kesulitan dan kita akan kehilangan moment. Ngga
mungkin kan penarinya kita suruh stop dulu trus pose. Jadi kamera Fuji yang
kami coba disetting ke aperture priority. Jadi kita tidak perlu lagi memikirkan
settingan lainnya, karena sudah automatis mengikuti. Masalah tiarap tadi
kebetulan karena terbentur perut jadi saya ngga banyak tiarap juga. Namun bukan
berarti saya ngga bisa foto low angle, karena saya memanfaatkan keuntungan LCD
flip yang dimiliki oleh kamera Fuji XT 100. Jadi cukup kameranya aja yang
tiarap, sayanya ngga usah.
![]() |
Menjajal kamera Fuji sambil mencoba mendapatkan angle terbaik |
![]() |
Menarikan Tokecang - taken with Fuji XT-100 |
![]() |
Silat Cimande - Taken with fuji XT 100 |
Sebelum melanjutkan ke lokasi
berikutnya, kami makan siang terlebih dahulu. Walau sebelumnya saat datang kami
sudah disediakan cemilan tradisional termasuk minum bandrek, tapi kalau buat
saya rasanya masih kurang kenyang. Jadi dengan
lahap kami makan siang bersama, psssttt sambelnya enak banget loh.
![]() |
Penganan pagi hari + Bandrek |
Makan siang lengkap |
Berburu Ulat Sutera
Kegiatan melestarikan tradisi ini
tidak hanya sampai di Desa Wisata saja. Kami juga diajak untuk melihat langsung
pembuatan kain sutera. Sambil menuju kearah sana saya melihat anak-anak yang
tadi tampil menari sudah berganti pakaian biasa dan sedang asyik main roller
blade. Lagi-lagi kepesimisan saya terkikis, karena pada dasarnya anak-anak
memang suka bermain, apa pun bentuknya baik yang kekinian maupun tradisional.
Asalkan kita terus menerus mengenalkannya pada mereka, syukur-syukur kalau
mereka akhirnya lebih senang bermain di lapangan daripada di rumah dengan
handphonenya.
Lalu sampailah kami di “Rumah
Sutera” satu-satunya produsen kain sutra yang ada di Kota Bogor. Lokasinya
sangat menyejukkan mata, karena sangat asri dengan berbagai tanaman yang ditata
rapih disana-sini. Eh tapi sebelumnya, sudah tahu kan kalau kain sutera itu
dibuat dari ulat sutera?.
Pertama-tama kami diajak
berkunjung ke ladang Murbei, yang merupakan makanannya para ulat sutera. Disini
hanya menanam 4 jenis pohon murbei, yang merupakan kualitas terbaik. Kemudian selanjutnya kami melihat ulat-ulat
yang sedang dalam proses kokon. Kalau sudah terbentuk kokon kemudian dipanen
dan dibersihkan.
Ladang Murbei |
Proses ulat berubah menjadi kokon |
![]() |
Kokon dipanen dan kemudian dibersihkan |
Selanjutnya kokon ini direbus dan
dipisahkan helai demi helai benangnya. Untuk 10 kilo kokon hanya menghasilkan 1
kilo benang sutera, yang dijual dengan harga 1-1,2 juta rupiah. Lalu barulah
kemudian benang-benang tersebut-sebut ditenun menjadi kain. Untuk menenunnya
juga masih menggunakan alat tenun bukan mesin, dalam sehari bisa menghasilkan
2-3 meter kain. Sekarang saya tahu mengapa kain sutera itu mahal, karena
prosesnya saja sangat panjang dan tidak
mudah.
Proses memisahkan helai demi helai |
![]() |
Dari helainan kemudian menjadi benang - taken with Fuji XT-100 |
![]() |
Benang ditenun menjadi kain |
Dari perjalanan kali ini saya
belajar bahwa melestarikan tradisi bisa dengan berbagai cara, namun bukan hanya
sekedar berharap ada yang mau. Kita juga harus turut aktif mengajak dan
menumbuhkan kemauan itu. Seperti yang terjadi di desa Sindangbarang, bersama-sama
mereka membangun tempat wisata dimana masyarakat yang berada di sekitarnya
turut serta. Ahhhh tapi kan anak-anak itu juga mau karena diiming-imingi uang
jajan. Lalu salahnya dimana? kalau
mereka mau karena ada “hadiahnya”, toh tidak mudah menari dibawah terik
matahari dan berada diantara puluhan pasangan mata memandang. Sedikit uang yang
mereka terima justru memacu mereka untuk datang ke sanggar setiap minggunya,
hingga muncul kebiasaan yang akan mereka ingat seterusnya dan mereka menjadi
agen yang mengajak teman-teman lainnya untuk sama-sama belajar pencak silat
ataupun tari tradisional, hingga tradisi pun tetap lestari.
Budaya Sunda memang selalu menarik. Angklung terutama, alat musik tradisional yang sudah mendunia.
ReplyDeleteIya kagum dengan kerelaan dan kecintaan pengurus untuk melestarikan budaya Sunda, sama kayak pengelola Saung Udjo..
ReplyDelete