Tuesday, April 15, 2014

MENANTI BAHAGIA

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali www.thebaybali.com& Get discovered!


Kubuka lagi amplop cokelat dalam genggamanku. Berkali-kali kumelihat isinya hingga amplop itu menjadi kusut. Sebisa mungkin ku menahan jatuhnya airmata. Berulang kali aku melihat jam tangan, jam di dinding restoran, mengetuk-ngetuk sendok di cangkir, mengelap keringat, menanti suamiku yang tak kunjung datang.

Pelayan sudah datang kesekian kalinya memberitahuku, bahwa crispy duck pesananku sudah siap disajikan. Namun aku memilih menunggu suamiku datang terlebih dahulu. Karena crispy duck dari Bebek Bengil ini selalu menjadi makanan favoritnya. Jadi paling tidak mood suamiku dalam keadaan yang baik ketika menyampaikan berita ini. Oh... Tuhan kenapa waktu berjalan sangat lambat, penantian ini menyiksaku. Aku ingin semua segera berlalu. Rasa sesak ini sudah memenuhi dadaku.

10 tahun sudah kami berumah tangga namun tak kunjung juga hadir buah cinta dari pernikahan ini. Awalnya kami menghadapinya dengan santai dan menikmati waktu “bulan madu” panjang kami.  Namun lama kelamaan usia pun bertambah. Aku sudah menginjak 35 tahun, kekhawatiran itu pun muncul. Ditambah lagi setiap ada teman kami yang hamil anak yang kesekian, bercerita tentang tingkah laku anaknya, atau bahkan menceritakan anaknya yang sedang sakit dan membutuhkan perhatiannya, semua itu membuat hati ini teriris-iris.

 Gaya hidup kami pun berubah, kami menjauhi “junk food” serta gorengan dan melakukan gaya hidup sehat. Bahkan suamiku pun sudah membuang jauh-jauh kebiasaan merokoknya. Setiap ada yang pergi umroh atau haji aku tak lupa minta dibawakan bunga kurma, yang konon katanya manjur untuk segera hamil. Tetapi entah berapa banyak bunga kurma yang sudah kumakan, bukan hanya bunga, buah, mungkin biji atau pohonnya sekalian aku makan supaya cepat hamil.Dari cara mitos maupun medis kami lakukan semua, gerakan-gerakan a,b,c,d,....z sudah kami praktekkan agar cepat hamil. Bahkan beberapa kali inseminasi buatan di beberapa rumah sakit.Namun lagi-lagi hasilnya nihil.

Suatu hari aku tak sengaja mendengar obrolan Mertua dan suamiku, beliau mengatakan bahwa ia malu ditanya kawan-kawannya mengapa belum juga punya cucu. Beliau yakin kesalahan berada dalam garis keluargaku, karena garis keluarga pihak suamiku semuanya dikaruniai banyak anak. Hanya aku dan suamiku yang belum juga mempunyai anak. Namun, itu belum seberapa dibandingkan perkataan beliau selanjutnya. Beliau bilang bahwa ia sudah menemukan calon untuk suamiku. Ya...calon istri kedua, yang bisa memberinya keturunan. Belum sempat suamiku menjawab aku sudah masuk kamar dan meluapkan amarahku, hilang sudah sopan-santunku di hadapan mertuaku.
Semenjak itu hubunganku kepada mertuaku memburuk. Parahnya ini juga berdampak pada hubunganku dengan suamiku. Aku mengerti dia berada di posisi terjepit, di satu sisi ia mencintai ibunya dan di sisi lainnya ada aku wanita yang janjikan dicintai sampai akhir hayatnya. Ia berada di posisi dimana kedua wanita ini membutuhkan perhatiannya dan juga pembelaannya. Namun aku tetap tak mau mengerti atas pertimbangan ibunya untuk menghadirkan wanita lain dalam rumah tanggaku.
Setiap kali suamiku bercerita tentang ibunya, komentar sinis selalu keluar dari mulutku. Kadang suamiku terdiam karena tidak ingin ribut denganku, namun di lain waktu ia juga mati-matian membela ibunya, dan aku selalu sakit hati. Belakangan hubungan kamipun hanya sebatas orang yang “kebetulan serumah”. Makan bersama, tidur bersama, tinggal di atap yang sama namun tidak ada lagi kehangatan dan keintiman seperti dulu. Semakin jauhlah keinginan untuk punya anak itu terwujud.

Suatu hari aku melihat artikel tentang bayi tabung. Aku sangat tertarik melihat artikel tersebut lalu aku pun mulai mencari lebih jauh tentang bayi tabung di internet, semakin kubaca semakin tumbuh kembali mimpiku untuk hamil. Akupun menanti kedatangan suamiku  dari kantor dengan tidak sabar. Begitu ia pulang, ia cukup terkejut melihatku yang bersikap manis dan ceria. Aku pun langsung menunjukkan berbagai artikel yang sudah kukumpulkan seharian ini.

“Sayang aku mau kita coba ini”  kataku yang sudah tak sabar menunggu reaksinya.
“Ini sangat menjanjikan, tapi apa kamu tahu perkiraan biayanya? Lihat ini mahal sekali sampai puluhan juta, bahkan kalau kita menggunakan seluruh tabungan kita pun belum cukup.” Balas suamiku
“Aku bisa menjual perhiasan yang aku miliki, dan kamu bisa jual mobil dan ganti dengan mobil bekas” semangatku berapi-api,
“Tapi sayang, bukan aku ga mau...hanya saja biaya yang dikeluarkan terlalu besar” dia menunjukkan ketidakyakinannya
“ Aku yakin cara ini pasti berhasil, banyak pasangan yang seperti kita,menempuh cara ini dan berhasil”
“Tapi, bagaimana kalau  gagal lagi? Apa kita masih sanggup menerima kekecewaan lagi? Bagaimana kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak punya anak!!!!

Lelakiku yang tampan dan gagah, yang selama ini menjagaku.....malam itu menunjukkan kelemahannya, hancur sudah pertahanannya. Melihat wajah suamiku yang memerah, punggung yang menujukkan ketidakberdayaan, membuat aku sadar berapa besar beban yang selama ini ditanggungnya.
Kubelai rambutnya dan kupeluk dia, “Sayang ini terakhir kalinya kita mencoba, kalaupun ini gagal aku ikhlas menuruti kemauanmu dan ibumu, apapun itu.” Dia tak menjawab, malam itu kami berdua hanya diam dan saling berpelukkan, diwarnai isak tangis yang sesekali terdengar.

Beberapa bulan sebelum melakukan program bayi tabung, kami menyiapan fisik dan mental seperti yang disyaratkan oleh dokter. Setelah itu barulah kami memasuki proses bayi tabung, yang terdiri dari 10 tahapan. Sayangnya suamiku tidak dapat menemaniku hingga tiap tahapan terlewati, dikarenakan ia dipindah tugaskan ke Bali. Hal ini membuat aku goyah, karena aku sangat berharap kami dapat melaluinya berdua. Namun, di sisi lain uang kami sudah habis terkuras untuk program ini, jadi aku pun harus tegar walau sendiri. Ia selalu meneleponku setiap malam, untuk mengetahui perkembangan program tersebut, namun pertanyaan-pertanyaanya justru semakin membuatku resah dan terbebani. Hingga akhirnya ia memilih memendam keinginantahuannya, dan membicarakan hal lain tetapi tak sepatahkatapun tentang bayi tabung.

Beberapa minggu berlalu suamiku memintaku untuk menemaninya dinas di Bali. Dia berpikir itu akan baik buat aku, mendapatkan suasana baru serta menangkan pikiran. Tetapi aku menolaknya mentah-mentah, tak tahan rasanya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari temannya “ anaknya kemana kok ga dibawa?” , “oh belom punya anak, kok ga coba di cek ke dokter?” , “udah nyoba a, b, c,d  belom biar cepet punya anak?” , atau yang lebih menganggu “ wah kalau aku malah kerepotan ngurus tiga orang anak”, “eh lihat nih anakku cantik/cakap bukan?” ...Aaarrrggghhh membayangkannya saja sudah membuat aku gerah

Setelah kepergianku suamiku selama tiga bulan, kelakuannku semakin menjadi-jadi. Sering aku berdiam di kamar seharian tanpa makan sedikitpun. Kadang seperti orang kalap’ belanja ini itu. Atau pergi tanpa tujuan hingga larut malam. Berbicara kalau sedang ingin saja, atau menjawab sekenanya ketika orang tuaku menelepon. Aku begitu egois.






 

Malam itu ia meneleponku, bercerita betapa beruntungnya ia kali ini mendapat kesempatan menginap di The Bay Bali, ia akan disana selama beberapa minggu. Ia bercerita tentang kebiasaan barunya di pagi hari yaitu berlari di tepian  pantai yang pasirnya lembut dan bersih, kemudian sesudahnya berlama-lama mencelupkan kaki di lautnya yang jernih sambil menghirup udaranya yang segar. Sore harinya setelah bekerja dan meeting seharian ia akan pergi ke D’Opera untuk berenang atau sekedar bersantai di pinggir kolam sambil membaca buku. Tak lupa tentang petualangan kulinernya disana, hari ini akan makan masakan cina di Hon Xing, di lain hari di Benihana, atau mencoba kembali ke impian masa kecilnya di Pirate Bay, tetapi kesukaannya tetap masakan Indonesia, oleh karena itu Bumbu Nusantara serta Bebek Bengil menjadi tempat favoritnya. Seketika itu aku berkata “ Sayang, aku kesana yah nyusul kamu, ada yang ingin aku bicarakan.”

Dan sekarang disinilah aku berada. Setelah beberapa bulan tak bertemu, masih juga harus menanti beberapa jam,  karena hari ini ia sangat sibuk sehingga ia tak bisa menjemputku d bandara dan baru menemui ketika makan malam. Udara yang sejuk serta bale-bale tradisional yang menghadap sawah-sawah mini, serta pencahayaan dari lilin dan obor, bisa membuat siapa saja merasa terlena, kecuali aku.




Akhirnya aku melihat sosoknya, dari kejauhan ia tersenyum padaku. Senyumnya yang selalu bisa membuat wajahku merona.
“Maaf yah aku lama, tadi kliennya agak rewel jadi aku tertahan lama di tempat meeting” ia bersikap sewajar mungkin
“iya gapapa”
“Gimana kabar kamu? Semua baik-baik aja kan?. Tanyanya sambil menggenggam tanganku.
 “Seperti yang aku bilang sebelumnya, ada yang aku ingin bicarakan”
“Sayang, kamu capek dan aku juga, gimana kalau kita makan dulu yah”
“Ngga harus sekarang pokoknya”
“Kenapa sih baru ketemu kamu udah ketus gitu?....hmmm ya udah apa yang mau kamu obrolin?
“Nih buka aja” sambil menyerahkan amplop coklat yang sedari tadi kupegang
Matanya terbelalak, tangannya menggenggam kencang isi amplop tersebut “Kamu serius?....kamu ga lagi becanda kan?...
Senyum merekah di bibirku ‘ iya sayang aku serius, itu hasil lab dan USGnya....usianya sudah 12 minggu..itu anak kita”
“Kok kamu ga pernah ngasih tau aku? Kalau programnya berhasil”
“Karena aku juga sama takutnya sama kamu....aku bener-bener takut kalau ini gagal lagi”
“Jadi ini alasan kamu suka marah-marah dan sensitif banget akhir-akhir ini?” ujarnya menggoda
“ihhh kamuuu....tapi iya sih, dan itu juga alasan kenapa aku baru kesini sekarang....karena nunggu si ini nih kuat dulu” sambil kuusap perutku.
Ia pun serta merta memelukku, Begitu hangat, begitu erat pelukannya, kecupannya mendarat bertubi-tubi. Wajahku memerah karena begitu bahagianya dan sedikit malu menjadi perhatian banyak orang saat itu. Kami tertawa dan menangis bersama, namun kali ini dengan alasan yang berbeda. Kebahagiaan itu akhirnya datang juga.







Sunday, April 13, 2014

SEWUJUD BAHAGIA

“Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali (The bay bali) & Get discovered!"




Namaku adalah Rosa, aku adalah ibu dari seorang putri cantik bernama Shafira.




“Bundaaaaaa, lihaaattttt...... aku adalah bajak laut penguasa lautan”  seru riang anakku dari atas kapal bajak laut yang terdapat di tepi pantai.
“iya sayang, mainnya hati-hati yah” balasku sembari melambaikan tangan.
Sudah kuduga sebelumnya Fira, nama panggilan puteri kami, akan sangat menyukai Pirate Bay ini, pemandangannya yang langsung ke laut serta berbagai kegiatan yang ditawarkan akan memikat hati anak mana pun, walaupun kemarin ia juga mengatakan menyukai kolam renang dengan kursi-kursi cantik yang terdapat di D’Opera.
----------------
“ Kamu yakin, mau kita ke Bali?” tanya suamiku
“Yakin mas, berapa kali lagi sih kita harus ngebahas ini.....aku mau kita ke Bali, iya kita bertiga!”
“Tapi apa kamu udah pikirin ini semua matang-matang”
“Iya aku udah pikirin semua dan segala resikonya. Aku cuma pengen dia punya kenangan bahagia, bukan kenangan bolak balik ke rumah sakit. Aku ga pengen kita menyesal.” aku terduduk, airmataku jatuh tak tertahankan.
Suamiku pun memelukku, ia menghela nafas panjang. “OK, aku coba atur waktu, aku akan ambil cuti dan beresin semua kerjaan, kita ke Bali yah.”

Bisa dibilang aku adalah salah satu wanita yang beruntung. Setelah lulus kuliah, aku langsung mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan. Beberapa tahun kemudian aku pun menikah  dengan lelaki tampan yang selama ini kukagumi diam-diam. Kamipun mempunyai istana kecil kami sendiri, sehingga kami pun bisa memulai berumah tangga secara mandiri. Keberuntungan tidak hanya sampai disitu, setahun kemudian kami dikarunia seorang putri cantik yang menjadi kesayangan semua orang, karena memang dia cucu pertama baik dari keluargaku maupun keluarga suamiku.

Waktu bergulir, istana kecil kami dipenuhi tawa riang anak semata wayang kami. Namun semakin bertambah usia Shafira seringkali terkena flu dan juga mimisan. Awalnya aku pikir dia sakit biasa saja, hingga akhirnya dokter menyarankan untuk memeriksa secara keseluruhan.
Bagai disambar petir di siang hari, aku masih ingat dengan jelas ketika dokter menyatakan bahwa putri kecil kami terkena leukimia. Orang tua mana yang tidak hancur hatinya ketika anaknya divonis seperti itu.

Leukimia atau kanker darah, bagaimana bisa??? Usianya baru tujuh tahun....Anak sekecil itu sudah menderita penyakit seberat itu. Bermalam-malam aku menangis dalam pelukkan suamiku, mempertanyakan Tuhan atas ketidakadilan ini, dan mengapa bukan aku saja yang terkena? Kenapa harus anakku?.

Bagai orang gila, aku mencari kesana kemari berbagai rumah sakit yang dapat menyembuhkan penyakit anakku. Namun itu belum seberapa, jika dibandingkan ketika melihat anakku menjalani sesi kemoterapi, ketika melihat selang-selang itu ditancapkan ke tubuhnya, ketika obat-obat itu masuk kedalam tubuhnya, dan ketika ia menahan sakit dalam menjalani prosesnya.

Satu hari setelah pulang sekolah, ia menangis begitu kencangnya, ia mengatakan bahwa ia tak ingin lagi sekolah. Ternyata ia menjadi bahan ejekkan karena kepalanya yang hampir botak, walau sudah berusaha ditutupi sedemikian rupa. Dia juga mempertanyakkan mengapa aku membiarkan dokter-dokter merontokkan rambutnya.
Hatiku mencelos, apa dayaku? Apa yang harus kujawab? Bagaimana aku harus menjelaskan? Coba apa yang akan kalian katakan jika kalian berada di posisiku?.

Lambat laun puteriku menerima keadaannya. Memang aku dan suamiku sepakat untuk tidak menutup-nutupi tentang penyakitnya, karena bukankah akan lebih menyakitkan jika kami harus selalu berbohong kepadanya. Dua tahun sudah ia menjalani berbagai pengobatan dan terapi. Putri hebatku tak banyak mengeluh maupun mengaduh, namun ia juga tak lagi tertawa riang.


“Bunda kapan aku sembuh?” tanyanya
“Bunda ga tau sayang, tapi kita terus usaha dan berdoa yah”
“Kalau aku sembuh, aku boleh minta sesuatu ga?”
“Emangnya kamu mau minta apa?”
“Aku pengen jalan-jalan, pengen liat pantai, boleh ga?”
Aku terdiam, tersadar akan permintaannya itu. Selama ini kami berusaha mengobati dan mengobati. Setiap minggu setiap bulannya, kehidupan Fira hanya sekitar rumah dan rumah sakit saja. Begitu terfokusnya kami terhadap berbagai pengobatan yang harus dijalan Fira. Membuat kami terlupa bahwa ia juga membutuhkan hal lain diluar itu.
“Bunda kok diemmm ajaaa, boleh gaa?” Fira sambil menarik-narik tanganku.
“Nanti kita tanya om dokter dulu yah sayang”
“Ahhhh, bundaaa kenapa sih harus tanya om dokter dulu?” ia merajuk.
“Fira, kita harus tanya om dokter dulu yah sayang....tapi bunda janji bakal ngerayu om dokter dan ayah supaya kita bisa pergi ke pantai”
“Horeee janji yah bunda” ia pun menyodorkan kelingkingnya, memintaku untuk balas menautkan kelingkingku sebagai tanda perjanjian kami.

                                                      -------------

Dan sampailah kami disini, di Bali. Karena Fira meminta pantai, maka tidak ada tempat yang lebih tepat selain pulau dewata ini. Pulau kecil dengan berjuta pesona kahyangannya.
Bisa dibilang ini liburan pertama kami sebagai keluarga, dan aku ingin semuanya sempurna, akupun mencari tempat terbaik untuk menghabiskan liburan kami. Tempat dimana kami bisa menikmati keindahan laut, merasakan kenyamanan, berbagai menu makanan yang menggugah selera, serta paling penting tempat untuk Fira beraktivitas dan bersenang-senang. Untungnya suamiku pun menyetujuinya, walau harus bekerja ekstra dan mengambil lembur untuk mendapatkan tambahan agar terwujudnya mimpi putri kecil kami.

 “Bunda, aku laparrrr” ujar Fira setelah sekembalinya berpetualang menjadi bajak laut.
“Wah tumben ada yang minta makan duluan, biasanya susah banget”
“Habis disini enak-enak bunda”
“Fira mau makan apa? Mau makan disini di rumah pohon, makan bebek, makan masakan cina? Kamu mau yang mana?
Aku tersenyum melihat wajahnya yang kebingungan, seolah ia ingin menjawab iya pada semua pilihan yang kutawarkan.
“Mikirnya lama ah, sambil mikir dan nunggu ayah nih bunda pesenin banana foster buat kamu. Baru nanti kita makan siang di Bebek Bengil.”








Ia pun memakannya dengan lahap, memang suasana di rumah pohon ini sangat nyaman dan menyenangkan.Tak lama kemudian suamiku datang dan bergabung dengan kami.
Dengan wajah serius ia menghadap Fira “Fira, ayah mau ngomong sesuatu sama kamu”
“Kita udah harus pulang ya yah? Ayah udah harus kerja lagi?”  sekilas muncul kekecewaan di wajahnya
“Fira kamu ngerasa capek ga disini?”
“Ngga ayah Fira ngga capek, Fira ngga usah dibawa ke rumah sakit yah”
Akupun mulai bertanya-tanya apa gerangan yang ingin disampaikan suamiku. Siapakah yang tadi ia hubungi? Kantornya kah? Rumah sakit? Atau dokternya Fira yang menghubunginya?”

“ Kamu yakin Fira? Kamu ga ngerasain sakit?”
“Beneran yah, Fira ga sakit”
“Apa sih ayah? Daritadi sebenernya mau ngomong apa?” ujarku tak sabaran
Suamiku pun menatap kami berdua dengan sungguh-sungguh “Ayah mau ngasih tau, barusan ayah telepon kantor”........”dan kantor bilang kalau ayah boleh cuti beberapa hari lagi, jadi kita bisa lebih lama disini”
Sejurus kemudian Fira memeluk ayahnya. Mereka berdua tertawa lepas, wajahnya begitu bahagia.

Setelah dua tahun kami berjuang bersama, sewujud bahagia itu akhirnya kami dapatkan dalam beberapa hari ini. Pahitnya kenangan akan rumah sakit berganti menjadi kenangan ceria penuh tawa. The Bay Bali kau menjadi saksi atas memori indah ini, dimana kembalinya senyuman anakku, dimana ia sejenak melupakan sakitnya, dan membuat kami menjadi orang tua yang bangga karena mampu mewujudkan mimpi buah cintanya.

Tuhan aku tidak tahu apa keputusanmu atas nasib anakku shafira, namun aku berterimakasih telah menganugerahkan ia dalam kehidupan kami. Terimakasih kami diizinkan untuk belajar menjadi orang tua. Terimakasih telah mengajarkan arti hidup.....maafkan aku Tuhan jika dulu aku mempertanyakan rencana dan Kehendak-Mu.

Aku Rosa, aku adalah ibu yang sangat beruntung dari seorang putri cantik yang kuat






Wednesday, April 2, 2014

KETIKA KU MEMELUKMU



Perjalanan yang tak mudah, namun indah adanya
Selama ini yang kutahu tubuhku hanya satu
Namun keajaiban datang menyapa
Dalam tubuh ini tumbuh raga baru
Kini tubuhku bukan hanya milikku

Seiring waktu rasa mual selalu melanda, sakit hingga tak berdaya
Tapi tak mengapa itu tanda kau sedang tumbuh dan berkembang
Dan menyapa wanita dimana kau berbagi tubuh

Dalam hatiku kau kuberi nama
Ketika membuka mata, di tengah sibukku, hingga menjelang tidur kupanggil-panggil selalu namamu
berharap tendangan-tendangan kecil menjadi jawabmu

Waktu tak pernah berjalan selama ini
Seakan semua menanti sang jiwa mungil untuk segera hadir
Aku tak bisa berjanji dunia ini akan senyaman dalam rahim kau berada
Tapi aku berjanji akan selalu ada melindungimu

Kala itu adalah hari dimana ku mendengar melodi terindah
Melodi yang membucahkan rasa
Melodi yang mengalirkan airmataku
Melodi itu adalah tangismu ketika menyapa dunia

Kini kau hadir dalam pelukkanku,
Lemah, kecil, halus, rapuh dan nyata
Ketika ku memelukmu, keajaiban itu ada
Ketika ku memelukmu, hati ini bahagia

Ketika ku memelukmu, aku utuh.....