Thursday, June 18, 2015

SUMANTRI VS MAD DOG


SUKRASANA PADA SUMANTRI:

SUMANTRI,
KAKAKKU YANG TAMPAN
APA YANG SEDANG MATI-MATIAN KAU BURU
BEGITU TERGESANYA, SAMPAI CINTA LUPUT KAU BAWA
BISA KULIHAT BETAPA GIGIHNYA KAU PERJUANGKAN SEMUA MIMPI
HINGGA HABIS RASA
KEJAYAAN TAK KURANG TAK LEBIH ADALAH BENIH
KADANG KALA DIA TUMBUH MENJADI KESOMBONGAN YANG MENJULANG

        -Lakon Sumantri Sukrasana oleh wayang urban Nanang Hape-





Panggung dipenuhi berbagai perlengkapan layaknya menonton wayang kulit. Namun kehadiran alat musik modern, disamping peralatan musik tradisional, membangkitkan rasa penasaran.
Satu persatu pemain musik tradisional muncul dan menempati posisinya masing-masing. Sang Dalang Nanang Hape, terlebih dahulu memperkenalkan filosofi dibalik Gunungan atau kayon. Kisah belum dimulai, namun saya sudah tercengang. Seperti yang tergambar pada Gunungan, manusia semasa hidup diberikan pilihan, namun pilihan itu kembali ke satu pucuk, yaitu jantung. Suatu saat jantung akan berhenti berdetak, dan ketika itu terjadi apakah pilihan itu sudah tepat.



Musik tradisional mengalun memenuhi ruangan. Sang dalang membuka kisah. Lalu tetiba satu persatu pemain lain muncul dan duduk bersama dalang. Candaan  dan perubahan musik dari tradisonal bercampur menjadi rasa kekinian, semakin membuat berdebar, menanti kejutan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dikisahkan kakak beradik Sumantri dan Sukrasana. Sumantri yang tampan dan gagah, demi mengejar ambisinya untuk menjadi yang  terhebat, meninggalkan adiknya Sukrasana yang buruk rupa namun sangat mencintai kakaknya. Setelah sampai ke negeri Mahespati, Sumantri mengabdi pada Prabu Harjuna Sastra . Tugas pertama Sumantri adalah memenangkan sayembara merebut putri cantik Citrawati dari negeri Magada.

Tak ada yang tetap pada lakon Wayang Urban ini.  Satu tokoh dapat diperankan oleh beberapa orang, atau bahkan setiap orang memiliki beberapa lakon, secara bergantian atau muncul bersamaan. Gimmick-gimmick pun tak berhenti disitu, para pelakon juga ternyata adalah para pemain musik.
Kemudian cerita bergulir. Sumantri berhasil memenangkan sayembara. Namun Sumantri merasa, apakah pantas sang Raja mendapatkan Putri Citrawati, karena bagaimanapun juga ialah yang memenangkan sayembara. Lantas Sumantri pun menantang sang raja untuk bertarung. Pertarungan terjadi, dan dimenangkan oleh sang Raja. Karena walau Sumantri sakti namun sang raja lebih sakti.









Namun adakah yang mengetahui jerit hati putri Citrawati? Yang dipertaruhkan dan diperebutkan bagai barang tak bernyawa?
Jerit hati putri Citrawati digambarkan jelas oleh nyanyian dan kata-kata dari dua wanita yang muncul



Tak mau menyerahkan diri begitu saja Putri Citrawati menantang Prabu Harjuna Sastra untuk memindahkan taman kesayangannya yaitu taman Sriwedari dari Magada ke Mahespati dalam satu malam saja. Tak kurang dan tak lebih satu helai daun pun.




Prabu Harjuna Sastra meminta sumantri untuk memenuhinya. Dan kebetulan Sukrasana yang sudah sangat merindukan kakaknya datang. Berkat Sukrasana keinginan yang sangat mustahil dilakukan itu, dapat terwujud. Namun karena suatu kesalahan, akhirnya Sumantri kehilangan pekerjaannya dan diusir dari kerajaan, iapun tak pelak menyalahkan adiknya Sukrasana. Panah dihunuskan ke jantung Sukrasana. Sukrasana mati karena tangan orang yang sangat dicintainya yaitu Sumantri. Sukrasana Mati karena ambisi Sumantri





Tepuk tangan tak berhenti untuk team Wayang urban dengan Dalang Nanang Hape. Saya belum pernah melihat wayang disampaikan dengan begitu bebasnya, begitu “slengean”, begitu dalamnya. Musik pun selalu berganti-ganti, pop, jazz, tanpa meninggalkan sentuhan Tradisi. Perasaan saya benar-benar dipermainkan, sebentar serius, sebentar tertawa, sebentar tercengang, sebentar bingung. Tak ada satu waktu dimana kami para penonton begitu larut dalam suatu perasaan tertentu. Atau jangan-jangan memang itu filosofi hidup yang ingin disampaikan. Jangan sampai kita berlarut-larut dalam suatu rasa sedih atau bahagia, karena semuanya akan bergulir dan berganti dengan cepat.

Mungkin jenis tampilan wayang ini “menabrak” dari yang sudah ada dan yang sudah dilakukan dari dahulu. Mungkin juga ada yang tidak setuju dengan gaya wayang seperti ini. Tetapi bagi saya pribadi, wayang ini mampu mengubah cara pandang saya. Dari momok yang membosankan dan susah dimengerti, menjadi sesuatu yang menarik dan mudah dipahami. Bahkan saya sempat tak percaya bahwa waktu satu setengah jam berlalu begitu saja.  Dan ketika sang dalang menyampaikan “ini lagu terakhir” saya masih sangat berharap itu hanyalah gimmick. Jika tujuan wayang urban ini adalah untuk menarik perhatian kaum muda, saya rasa cara ini akan sangat berhasil. Saya rasa tidak berlebihan jika saya menganggap Wayang Urban sebagai salah satu Mahakarya Indonesia.

Lalu apa kaitannya Mad Dog dalam cerita ini?,  Mad Dog adalah tokoh yang diperankan Yayan Ruhian pada film The Raid. Sebelum saya menceritakan lebih jauh. Perlu diketahui saya sangat ngefans dengan beliau. Jadi, yah bisa dibilang tulisan saya berikut ini sangat subyektif. Yaitu dari sisi seseorang yang sangat mengidolakan beliau



Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa satu tokoh bisa dimainkan oleh beberapa aktor. Yayan Ruhian muncul sebagai Sumantri ketika bertarung dalam sayembara memperebutkan dewi Citrawati. Kehadirannya hanya sekitar lima menit, namun memukau. Nama Yayan Ruhian dikenal setelah kesuksesan film The Raid. Walau sebelumnya ia juga tampil sebagai Erik dalam film  Merantau. Berkat film The Raid pula beberapa aktornya dikenal secara Internasional termasuk Yayan Ruhian. Nama Mad Dog pun sempat menjadi trending topic worldwide. bahkan sudah beredar selentingan berita bahwa iapun terlibat dalam film Star Wars terbaru. Banyak yang berpikir bahwa karirnya melesat begitu cepat.

Tapi untuk menjadi seorang Mad Dog, dibutuhkan kegigihan dan kesabaran. Butuh belasan tahun untuk menjadi sekuat dan selincah itu. Butuh kesabaran mendalami seni pencak silat, yang sudah ditinggalkan banyak orang. Bahkan saya sendiri mengenal pencak silat hanya sebatas mata pelajaran muatan lokal pada saat duduk dibangku sekolah menengah pertama dulu. Namun seorang Yayan Ruhian. dengan penuh bangga ia mengembangkan seni bela diri tradisional ini. Butuh dedikasi tanpa batas untuk meraih sukses. Dalam film jepang “Yakuza Apocalypse” garapan Takashi Miike seorang Yayan Ruhian harus mempersiapkan diri dan berlatih selama satu tahun. Berkat usahanya itu tak heran Ia dapat menjejakkan kakinya di red carpet cannes film festival dan Sundance Film Festival .Buat saya, prestasi yang diraihnya sudah sangat luar biasa mengingat beliau belum lama menghiasi layar lebar. Namun jika bertemu langsung dengan beliau, kesan yang ditangkap adalah sederhana, ramah, sopan dan  sedikit pemalu. Mungkin bahkan, jika berpapasan dengan beliau di suatu tempat kita tidak akan menyadari bahwa ia seorang bintang. Ia melayani dengan sangat baik siapapun yang bertanya, wawancara atau sekedar foto bareng. Tak jarang ia membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada lawan bicaranya, dan saya rasa gestur tersebut tidak bisa dibuat-buat kalau bukan karena kebiasaan.

Hingga kemarin ada seseorang yang bertanya pada beliau “akang kan sudah menjadi seorang bintang, kok masih aja sederhana?” . Beliau terdiam sesaat dan menjawab” Justru saya takut, saya takut tergoda, saya takut keluar dari diri saya yang begini, saya takut terlena dan tidak mengenal diri saya sendiri.”


Seperti dalang Nanang Hape bilang, hidup itu pilihan. Pilihan menjadi Sumantri dengan segala ketampanan dan kehebatannya namun terbutakan ambisi. Atau menjadi seorang Yayan Ruhian, yang awalnya tak dikenal kemudian berhasil menjadi bintang, namun justru takut terlena dunia.

Kembali saya mengutip, Ono dino Ono Tresno artinya Ada hari ada Cinta, Indah bukan jika setiap hari diwarnai dengan cinta. Tetapi sedikit ambisi bisa merubahnya menjadi Ono Dunyo Ono tresno: Ada Dunia Ada cinta, disini dunia yang dimaksud adalah materi. Cinta hanya muncul ketika materi terpenuhi, ketika uang adalah segalanya. Jadi siapakah yang akan kamu pilih? Menjadi Sumantri atau Mad dog?

No comments:

Post a Comment