Kubuka
lagi amplop cokelat dalam genggamanku. Berkali-kali kumelihat isinya hingga
amplop itu menjadi kusut. Sebisa mungkin ku menahan jatuhnya airmata. Berulang
kali aku melihat jam tangan, jam di dinding restoran, mengetuk-ngetuk sendok di
cangkir, mengelap keringat, menanti suamiku yang tak kunjung datang.
Pelayan
sudah datang kesekian kalinya memberitahuku, bahwa crispy duck pesananku sudah siap disajikan. Namun aku memilih
menunggu suamiku datang terlebih dahulu. Karena crispy duck dari Bebek Bengil ini selalu menjadi makanan
favoritnya. Jadi paling tidak mood suamiku dalam keadaan yang baik ketika
menyampaikan berita ini. Oh... Tuhan kenapa waktu berjalan sangat lambat,
penantian ini menyiksaku. Aku ingin semua segera berlalu. Rasa sesak ini sudah
memenuhi dadaku.
10
tahun sudah kami berumah tangga namun tak kunjung juga hadir buah cinta dari
pernikahan ini. Awalnya kami menghadapinya dengan santai dan menikmati waktu
“bulan madu” panjang kami. Namun lama
kelamaan usia pun bertambah. Aku sudah menginjak 35 tahun, kekhawatiran itu pun
muncul. Ditambah lagi setiap ada teman kami yang hamil anak yang kesekian,
bercerita tentang tingkah laku anaknya, atau bahkan menceritakan anaknya yang
sedang sakit dan membutuhkan perhatiannya, semua itu membuat hati ini
teriris-iris.
Gaya hidup kami pun berubah, kami menjauhi
“junk food” serta gorengan dan melakukan gaya hidup sehat. Bahkan suamiku pun
sudah membuang jauh-jauh kebiasaan merokoknya. Setiap ada yang pergi umroh atau
haji aku tak lupa minta dibawakan bunga kurma, yang konon katanya manjur untuk
segera hamil. Tetapi entah berapa banyak bunga kurma yang sudah kumakan, bukan
hanya bunga, buah, mungkin biji atau pohonnya sekalian aku makan supaya cepat
hamil.Dari cara mitos maupun medis kami lakukan semua, gerakan-gerakan
a,b,c,d,....z sudah kami praktekkan agar cepat hamil. Bahkan beberapa kali
inseminasi buatan di beberapa rumah sakit.Namun lagi-lagi hasilnya nihil.
Suatu
hari aku tak sengaja mendengar obrolan Mertua dan suamiku, beliau mengatakan
bahwa ia malu ditanya kawan-kawannya mengapa belum juga punya cucu. Beliau
yakin kesalahan berada dalam garis keluargaku, karena garis keluarga pihak
suamiku semuanya dikaruniai banyak anak. Hanya aku dan suamiku yang belum juga
mempunyai anak. Namun, itu belum seberapa dibandingkan perkataan beliau
selanjutnya. Beliau bilang bahwa ia sudah menemukan calon untuk suamiku.
Ya...calon istri kedua, yang bisa memberinya keturunan. Belum sempat suamiku
menjawab aku sudah masuk kamar dan meluapkan amarahku, hilang sudah
sopan-santunku di hadapan mertuaku.
Semenjak
itu hubunganku kepada mertuaku memburuk. Parahnya ini juga berdampak pada
hubunganku dengan suamiku. Aku mengerti dia berada di posisi terjepit, di satu
sisi ia mencintai ibunya dan di sisi lainnya ada aku wanita yang janjikan
dicintai sampai akhir hayatnya. Ia berada di posisi dimana kedua wanita ini
membutuhkan perhatiannya dan juga pembelaannya. Namun aku tetap tak mau
mengerti atas pertimbangan ibunya untuk menghadirkan wanita lain dalam rumah
tanggaku.
Setiap
kali suamiku bercerita tentang ibunya, komentar sinis selalu keluar dari
mulutku. Kadang suamiku terdiam karena tidak ingin ribut denganku, namun di
lain waktu ia juga mati-matian membela ibunya, dan aku selalu sakit hati.
Belakangan hubungan kamipun hanya sebatas orang yang “kebetulan serumah”. Makan
bersama, tidur bersama, tinggal di atap yang sama namun tidak ada lagi
kehangatan dan keintiman seperti dulu. Semakin jauhlah keinginan untuk punya
anak itu terwujud.
Suatu
hari aku melihat artikel tentang bayi tabung. Aku sangat tertarik melihat
artikel tersebut lalu aku pun mulai mencari lebih jauh tentang bayi tabung di
internet, semakin kubaca semakin tumbuh kembali mimpiku untuk hamil. Akupun
menanti kedatangan suamiku dari kantor dengan
tidak sabar. Begitu ia pulang, ia cukup terkejut melihatku yang bersikap manis
dan ceria. Aku pun langsung menunjukkan berbagai artikel yang sudah kukumpulkan
seharian ini.
“Sayang
aku mau kita coba ini” kataku yang sudah
tak sabar menunggu reaksinya.
“Ini
sangat menjanjikan, tapi apa kamu tahu perkiraan biayanya? Lihat ini mahal
sekali sampai puluhan juta, bahkan kalau kita menggunakan seluruh tabungan kita
pun belum cukup.” Balas suamiku
“Aku
bisa menjual perhiasan yang aku miliki, dan kamu bisa jual mobil dan ganti
dengan mobil bekas” semangatku berapi-api,
“Tapi
sayang, bukan aku ga mau...hanya saja biaya yang dikeluarkan terlalu besar” dia
menunjukkan ketidakyakinannya
“
Aku yakin cara ini pasti berhasil, banyak pasangan yang seperti kita,menempuh
cara ini dan berhasil”
“Tapi,
bagaimana kalau gagal lagi? Apa kita
masih sanggup menerima kekecewaan lagi? Bagaimana kalau memang kita ditakdirkan
untuk tidak punya anak!!!!
Lelakiku
yang tampan dan gagah, yang selama ini menjagaku.....malam itu menunjukkan
kelemahannya, hancur sudah pertahanannya. Melihat wajah suamiku yang memerah,
punggung yang menujukkan ketidakberdayaan, membuat aku sadar berapa besar beban
yang selama ini ditanggungnya.
Kubelai
rambutnya dan kupeluk dia, “Sayang ini terakhir kalinya kita mencoba, kalaupun
ini gagal aku ikhlas menuruti kemauanmu dan ibumu, apapun itu.” Dia tak
menjawab, malam itu kami berdua hanya diam dan saling berpelukkan, diwarnai
isak tangis yang sesekali terdengar.
Beberapa
bulan sebelum melakukan program bayi tabung, kami menyiapan fisik dan mental
seperti yang disyaratkan oleh dokter. Setelah itu barulah kami memasuki proses
bayi tabung, yang terdiri dari 10 tahapan. Sayangnya suamiku tidak dapat
menemaniku hingga tiap tahapan terlewati, dikarenakan ia dipindah tugaskan ke
Bali. Hal ini membuat aku goyah, karena aku sangat berharap kami dapat
melaluinya berdua. Namun, di sisi lain uang kami sudah habis terkuras untuk
program ini, jadi aku pun harus tegar walau sendiri. Ia selalu meneleponku
setiap malam, untuk mengetahui perkembangan program tersebut, namun pertanyaan-pertanyaanya
justru semakin membuatku resah dan terbebani. Hingga akhirnya ia memilih
memendam keinginantahuannya, dan membicarakan hal lain tetapi tak
sepatahkatapun tentang bayi tabung.
Beberapa
minggu berlalu suamiku memintaku untuk menemaninya dinas di Bali. Dia berpikir
itu akan baik buat aku, mendapatkan suasana baru serta menangkan pikiran.
Tetapi aku menolaknya mentah-mentah, tak tahan rasanya harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari temannya “ anaknya kemana kok ga dibawa?” , “oh
belom punya anak, kok ga coba di cek ke dokter?” , “udah nyoba a, b, c,d belom biar cepet punya anak?” , atau yang
lebih menganggu “ wah kalau aku malah kerepotan ngurus tiga orang anak”, “eh
lihat nih anakku cantik/cakap bukan?” ...Aaarrrggghhh membayangkannya saja
sudah membuat aku gerah
Setelah
kepergianku suamiku selama tiga bulan, kelakuannku semakin menjadi-jadi. Sering
aku berdiam di kamar seharian tanpa makan sedikitpun. Kadang seperti orang
kalap’ belanja ini itu. Atau pergi tanpa tujuan hingga larut malam. Berbicara
kalau sedang ingin saja, atau menjawab sekenanya ketika orang tuaku menelepon. Aku
begitu egois.
Malam itu ia meneleponku, bercerita betapa beruntungnya ia kali ini mendapat kesempatan menginap di The Bay Bali, ia akan disana selama beberapa minggu. Ia bercerita tentang kebiasaan barunya di pagi hari yaitu berlari di tepian pantai yang pasirnya lembut dan bersih, kemudian sesudahnya berlama-lama mencelupkan kaki di lautnya yang jernih sambil menghirup udaranya yang segar. Sore harinya setelah bekerja dan meeting seharian ia akan pergi ke D’Opera untuk berenang atau sekedar bersantai di pinggir kolam sambil membaca buku. Tak lupa tentang petualangan kulinernya disana, hari ini akan makan masakan cina di Hon Xing, di lain hari di Benihana, atau mencoba kembali ke impian masa kecilnya di Pirate Bay, tetapi kesukaannya tetap masakan Indonesia, oleh karena itu Bumbu Nusantara serta Bebek Bengil menjadi tempat favoritnya. Seketika itu aku berkata “ Sayang, aku kesana yah nyusul kamu, ada yang ingin aku bicarakan.”
Dan
sekarang disinilah aku berada. Setelah beberapa bulan tak bertemu, masih juga
harus menanti beberapa jam, karena hari
ini ia sangat sibuk sehingga ia tak bisa menjemputku d bandara dan baru menemui
ketika makan malam. Udara yang sejuk serta bale-bale tradisional yang menghadap
sawah-sawah mini, serta pencahayaan dari lilin dan obor, bisa membuat siapa
saja merasa terlena, kecuali aku.
Akhirnya
aku melihat sosoknya, dari kejauhan ia tersenyum padaku. Senyumnya yang selalu
bisa membuat wajahku merona.
“Maaf
yah aku lama, tadi kliennya agak rewel jadi aku tertahan lama di tempat
meeting” ia bersikap sewajar mungkin
“iya
gapapa”
“Gimana
kabar kamu? Semua baik-baik aja kan?. Tanyanya sambil menggenggam tanganku.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya, ada yang
aku ingin bicarakan”
“Sayang,
kamu capek dan aku juga, gimana kalau kita makan dulu yah”
“Ngga
harus sekarang pokoknya”
“Kenapa
sih baru ketemu kamu udah ketus gitu?....hmmm ya udah apa yang mau kamu
obrolin?
“Nih
buka aja” sambil menyerahkan amplop coklat yang sedari tadi kupegang
Matanya
terbelalak, tangannya menggenggam kencang isi amplop tersebut “Kamu
serius?....kamu ga lagi becanda kan?...
Senyum
merekah di bibirku ‘ iya sayang aku serius, itu hasil lab dan USGnya....usianya
sudah 12 minggu..itu anak kita”
“Kok
kamu ga pernah ngasih tau aku? Kalau programnya berhasil”
“Karena
aku juga sama takutnya sama kamu....aku bener-bener takut kalau ini gagal lagi”
“Jadi
ini alasan kamu suka marah-marah dan sensitif banget akhir-akhir ini?” ujarnya
menggoda
“ihhh
kamuuu....tapi iya sih, dan itu juga alasan kenapa aku baru kesini
sekarang....karena nunggu si ini nih kuat dulu” sambil kuusap perutku.
Ia
pun serta merta memelukku, Begitu hangat, begitu erat pelukannya, kecupannya
mendarat bertubi-tubi. Wajahku memerah karena begitu bahagianya dan sedikit
malu menjadi perhatian banyak orang saat itu. Kami tertawa dan menangis
bersama, namun kali ini dengan alasan yang berbeda. Kebahagiaan itu akhirnya
datang juga.
Huiksss... Baguss
ReplyDelete