Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 69...maaf saya sebagai anak bangsa belum bisa membalas jasa...yang bisa saya lakukan hanya berbagi kisah tentangmu Indonesia. Dan Ini kisah saya mengenai perjalanan saya ke Ambon.
Rasanya belum
hilang dari ingatan tragedi kerusuhan Ambon pada rentang waktu tahun 1998
hingga 2000. Walau aku tak mengalaminya langsung. Namun berbagai macam
pemberitaan media massa pada waktu itu, menimbulkan kengerian bagi siapa saja
yang mengikuti pemberitaannya. Bagaimana tidak, bayangkan saja puluhan hingga
ratusan korban yang tewas, ditambah terbakarnya rumah-rumah dan tempat ibadah,
darah tergenang di jalanan kota, jerit dan tangis terdengar setiap harinya.
Berharap besok masih ada nyawa, berharap besok mimpi buruk ini berakhir.
Was-was, sedikit
bingung, tak terbayangkan apa yang akan aku temui ketika akhirnya pada tahun 2011 aku mendapat tugas liputan ke kota Ambon.
Memang masa kelam itu sudah berakhir lama, tetapi tragedi tersebut masih
membayangi. Dalam keadaan lelah dan mengantuk, aku dan tim akhirnya menjejakkan
kaki di kota Ambon. Maklum saja kami mengambil penerbangan jam 1 pagi setelah
sebelumnya tetap bekerja terlebih dahulu. Dalam keadaan seperti itu, jujur saja
aku tidak begitu memperhatikan apa saja yang terdapat di kota ini, bahkan aku
hanya menyadari bahwa penginapan kami berada di tepi pantai. Setelah
berisitirahat dan cukup segar, kami langsung mengunjungi dua “landmark” Ambon
yaitu Pintu kota dan Tugu Martha Christina Tiahahu disana pula kami menyaksikan
tenggelamnya matahari. Sejauh ini aku mendapati kota yang damai dan normal,
tidak seperti bayanganku sebelumnya. Malam itu aku lebih memilih istirahat
karena esok kami harus bangun pagi sekali.
Ketika pagi tiba,
setelah cuci muka dan gosok gigi aku pun mencari teman-temanku karena biasanya
mereka mengambil gambar matahari terbit. Setelah menyusuri pantai tidak juga
aku menemukan mereka. Hanya ada seorang tukang sapu yang sedang membersihkan
halaman hotel dari daun-daun yang berjatuhan. Aku pun mengarah ke kamar temanku
yang kebetulan searah dengan halaman hotel. Lalu ketika aku mendekat tukang
sapu itu tiba-tiba menyapaku
“Selamat pagi
nona”,
“Selamat pagi” jawabku.
“Maaf bolehkah
saya membersihkan sampah kulit duren di kamar sana?” menunjuk ke arah kamar
temanku yang nampaknya semalam mengadakan pesta duren.
“Oh iya silahkan
saja”
“Saya daritadi
sudah ingin membersihkan, tetapi tak enak kalau tidak izin dulu, takut mengganggu”
“Oh tidak apa-apa
pak”
“Terimakasih
banyak” ujarnya lagi
“Justru saya yang
harus terimakasih”
Iapun segera
beranjak ke arah beranda kamar temanku dan membersihkan sampah kulit duren.
sudah lama rasanya aku tidak menemukan orang seramah dan sesopan bapak tadi.
Hari itu kami
pergi ke benteng Amsterdam, tidak ada tarif khusus untuk masuk kesana, kami
hanya dikenakan biaya donasi untuk pemeliharaan gedung. Di dalamnya tak ada hal
yang istimewa karena gedung itu kosong, tanpa ada barang-barang historis
seperti pada umumnya sebuah museum. Gedung itu sendiri terdiri dari 3 lantai.
Lantai pertama tidak ada hal yang menarik perhatian kami kecuali plakat tentang
sejarah pembangunan benteng Amsterdam. Namun ketika di lantai 2 dan 3 barulah
kami menemukan hal istimewa yang berupa jendela-jendela yang langsung menghadap
ke laut yang biru dimana dapat terlihat pulau seram.
Lokasi benteng
Amsterdam berada di desa Hila, dimana disana pula terdapat gereja tertua.
Melihat gereja tua yang terkunci dan sunyi kami sedikit kebingungan. Namun tak
lama ada sekelompok ibu-ibu di seberang gereja yang memanggil kami dan
menanyakan maksud kami kesana. Setelah menjelaskan tujuan kami, tanpa diminta
salah satu ibu bercerita tentang kerusuhan ambon yang terjadi pada akhir tahun
1998. Gereja termasuk korban dalam kerusuhan tersebut, ternyata bangunan yang
ada di hadapan kami bukan bangunan asli karena bangunan aslinya telah habis
dibakar pada saat kerusuhan. Kejadian itu sangat disayangkan oleh bu acha,
salah satu ibu yang kami ajak ngobrol, beliau berkata “bangunan itu tak bersalah
kenapa harus diapa-apakan” walau bangunan ini digunakan oleh umat kristiani
namun bangunan ini dijaga oleh umat islam yang tinggal di sekitarnya. Setelah
mendapatkan cukup gambar untuk bahan liputan, kami pun beranjak dari sana.
Kami pun pergi ke
desa Kaitetu yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari desa Hila. Disanalah
terdapat mesjid tertua di Ambon. Melihat jarak desa yang berdekatan ini seolah
menggugurkan rumor bahwa umat Islam dan Kristiani bermusuhan. Mesjid tua
Wapauwe terletak di dalam perumahan penduduk. Posisinya berada rapat dengan
rumah-rumah penduduk mengelilinginya, serta banyak pohon mangga tumbuh
disekitarnya. Yang ternyata itulah asal usul nama Mesjid Wapauwe, yang berarti
pohon mangga hutan dalam bahasa Kaitetu.
Saat itu aku hanya
mengenakan kaos dan celana pendek. Sehingga aku tidak berani masuk ke dalam
Masjid, hanya mengamati dari luar sembari mencatat sejarah mesjid Wapauwe yang
terpampang besar di samping masjid. Tiba-tiba ada seorang ibu yang berteriak
memanggilku, beliau menyuruhku untuk duduk bersamanya di teras rumahnya.
Setelah memperkenalkan diri dan maksud kami datang ke Ambon, dia memintaku
untuk memberitakan bahwa tidak ada masalah antara umat Islam dan Kristiani di
Ambon. Lalu ia pun bercerita sambil matanya menerawang, dulu sebelum kerusuhan
terjadi umat kristiani dan muslim hidup berdampingan dan saling membantu.
Setiap hari-hari besar keagaaman mereka selalu bergotong royong dan menghormati
satu sama lain. Entah darimana dan bagaimana kerusuhan dimulai, yang meraka
tahu dan mereka yakini bahwa siapapun yang memulai isu yang memecahkan
kerukunan beragama disana, bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari
luar Maluku, bukan penduduk asli. Ketika peristiwa itu terjadi, orang saling
membunuh dan memburu, namun sesama umat muslim dan kristiani disana saling
membantu dan memberikan perlindungan kepada siapapun yang membutuhkan. Akan
tetapi mereka yang dahulu bertetangga, akibat peristiwa tersebut menjadi
berpisah jarak. Keinganan ibu itu sederhana beliau hanya ingin Ambon kembali
damai seperti sedia kala.
Ketika beliau
bercerita, tanpa sadar para tetangga pun ikut berkumpul disana dan saling
menimpali cerita. Kami mengobrol banyak termasuk berkisah tentang keajaiban
mesjid tua yang terletak persis di sebelah rumahnya. Beliau pun menanyakan apa
aku sudah sembahyang, dan kujawab belum. Beliau berkata bahwa aku harus
merasakan sholat di mesjid tertua tersebut, karena sayang sekali sudah
jauh-jauh datang tapi tak sholat disana. Lalu dengan sungkan mengatakan bahwa
saya malu baju saya tak pantas masuk mesjid. Ibu itu pun meminta teman-temannya
agar membantu saya. Kedua ibu yang lain membantu saya mengambilkan mukena dari
dalam mesjid, agar saya bisa langsung mengenakannya begitu saya selesai
mengambil air wudhu di luar mesjid. Untuk saya Mesjid ini memang sederhana
namun membawa kenyamanan dan ketenangan beribadah di dalamnya, bersyukur saya
diberi kesempatan untuk melaksanakan sholat disini. Kedua ibu tadi menunggu
dengan sabar hingga saya menyelesaikan sholat saya, dan kemudian mereka
menunjukkan bagian-bagian penting dari mesjid. Mesjid yang dibangun pada tahun
1414, mempunyai keunikan tersendiri yaitu dibangun tanpa menggunakan paku satu
pun. Selain itu pula disini terdapat mushaf Al-Quran tertua di Indonesia, yang
ditulis tangan oleh Muhammad Arikulapessy imam pertama masjid
Wapauwe. Menjadi suatu kebiasaan disini, jika ingin berpergian jauh, mereka
datang ke Mesjid Wapauwe dan menunaikan ibadah dulu disini untuk berdoa
mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Dengan berbagai
keunikannya tak heran mesjid ini menjadi kebanggaan umat muslim Ambon. Hingga kami
pergi dari sana kami terus ditemani oleh warga desa Kaitetu, dan tak lupa
senyuman dan lambaian tangan mereka berikan, mengiringi kepergian kami.
Maluku kaya akan
berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah, itu pula yang menyebabkan
bangsa asing datang kesini, yaitu untuk menguasai rempah-rempah sehingga dapat
meraih untung dan mengendalikan perdagangan dunia. Jadi tak sempurna rasanya
jika datang ke Ambon tanpa napak tilas sejarah para pahlawan, khususnya kisah
keberanian Thomas Matulessy dalam melawan penjajah, beliau juga dikenal dengan
julukan Kapitan Patimura. Pulau Saparua adalah tujuan kami selanjutnya. Sebelum
pergi pemilik hotel memastikan apa kami sudah ada orang untuk menemani. Walau
memang sudah ada orang yang aku hubungi untuk menemani, tapi membuatku bertanya
ada apa gerangan. Ternyata belum lama ini terjadi bentrokkan antar desa di Pulau Saparua dan
dikhawatirkan keadaan masih tegang, sehingga diperlukan pendamping untuk
menemani kami. Tak lama pak Johanis atau kami memanggilnya pak Yanes datang,
beliau berperawakan mungil dan berusia lebih kurang 50 tahun. Setelah melihat
kedatangan beliau, pemilik hotel pun lega dan meyakinkan bahwa bersama pak
Yanes semuanya aman.
Dari pelabuhan
Leihitu kami mengambil kapal cepat untuk sampai ke Saparua. Satu hal yang saya
perhatikan tentang pak Yanes, beliau disegani banyak orang. Di setiap pelabuhan
manapun biasanya para calon penumpang diserbu calo tiket ataupun portir yang
berebutan mengangkut barang, dimana keadaan tersebut selalu membuatku risih dan
harus ekstra waspada. Namun begitu mereka melihat kami bersama Pak Yanes,
mereka semua langsung pergi menjauh, tanpa pak Yanes mengucapkan kata sepatah
pun.
Setelah satu jam
perjalanan akhirnya kapal kami hampir tiba di Pulau Saparua, yang ditandai
terlihatnya salib besar yang terletak di pinggiran pulau Saparua, seolah
menyambut para pengunjung. Dan lagi-lagi ketika sampai kami pun diserbu oleh
para supir angkutan umum, yang tentu saja segera bubar ketika melihat pak
Yanes. Kami pun menyewa salah satu mobil angkutan umum untuk mengantar kami ke
desa Porto dan desa Haria. Di desa Portolah terletak gereja tua Irine, dimana
disanalah berdiri salib besar yang tadi terlihat dari kejauhan. Sebelum
memasuki desa Porto, pak Yanes mengajak kami untuk ke rumah Kepala Desa
terlebih dahulu untuk mendapatkan izin. Ternyata kami hanya bertegur sapa dan
izin sekedarnya. Pak Yanes berkata bahwa sebenarnya bisa-bisa saja langsung
masuk ke gereja Irine tetapi sopan santun dan kekerabatan harus tetap dijaga.
Aku pribadi sangat menyetujui hal itu.
Setelah mengambil
gambar dan berbagai keterangan tentang gereja Irine. Kami pun beristirahat
sejenak di salah satu warung di seberang gereja, karena hari itu panasnya
begitu terik. Warung ini menurutku sangat manis, mengingatkankku pada film-film
lama. Warung ini merupakan bagian kecil dari rumah kayu berwarna kuning, dimana
di pekarangannya terdapat berbagai tanaman dan bunga warna-warni, dan
dikelilingi pagar kayu warna putih, walau tidak besar tetapi terasa manis
sekali.
Walau kami hanya
memesan minuman dingin, tetapi pemilik warung tidak berkeberatan sama sekali.
Beliau pun ikut bercengkerama dengan kami. Walau beliau tidak mau bercerita
banyak, syukurlah ternyata ketegangan antar desa yang dikhawatirkan sebelumnya ternyata sudah
berakhir.
Kemudian tibalah
kami di Desa Haria. Kami berkunjung ke rumah Kapitan Pattimura. Rumah kecil ini
ternyata menyimpan berbagai kisah tentang Kapitan Pattimura mulai dari
asal-usul, silsilah, sejarah perjuangan hingga beberapa peninggalan beliau. Aku
berharap bahwa ke depannya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada rumah
bersejarah ini, yang mulai lapuk dimakan usia. Kemudian kami singgah di Wei
Sisil, dimana daerah yang tenang dengan air laut jernih ini pernah menjadi
lautan darah. Darah para penjajah yang mati ditangan para pejuang yang hanya
bermodalkan bambu dan parang. Oleh karena itu disini terdapat tugu untuk
menghormati jasa para pejuang.
Tak jauh dari
sana terdapat benteng Duurstede, benteng yang terlihat sangat kokoh dari luar
namun ternyata di dalamnya hanyalah puing-puing tersisa. Benteng ini juga
merupakan lambang perlawanan rakyat saparua dalam melawan penjajah, tentu saja
dibawah pimpinan Kapitan Pattimura. Dari pak Yanes kami juga mengetahui bahwa
Pattimura, berasal dari kata Patti yang berarti Raja, sedangkan Murah berarti
Sepenuh hati. Mengetahui berbagai perjuangan dan keberanian Thomas Matulessy
demi kebebasan rakyat Maluku tak heran beliau mendapatkan julukan tersebut.
Hari sudah mulai
sore, dan kami harus segera ke Pelabuhan jika ingin mengejar kapal untuk
kembali. Selain berbagai kisah tentang keberanian para pahlawan maluku. Saya juga
mempelajari satu hal, bahwa pribahasa jangan menilai buku dari sampulnya benar
adanya. Itulah gambaran tentang sosok pak Yanes. Perawakannya yang kecil dan
sedikit tua, tapi ternyata memliki berbagai kelebihan. Baru kali ini kami pergi
dengan seseorang yang benar-benar mengetahui berbagai sejarah daerahnya,
disegani banyak orang, serta sangat membantu kami dalam segala hal, sehingga
pekerjaan kami pun terasa lebih mudah. Yang paling utama beliau pun tidak
pamrih sama sekali.
Setelah
menghabiskan waktu beberapa hari di Ambon, sudah saatnya kami pergi ke daerah
lain. Tujuan kami berikutnya adalah Pulau Seram. Namun sebelum kami pergi dari
kota Ambon, ternyata pemilik penginapan meminta kami untuk makan malam di Hotel
karena mereka telah menyiapkan sesuatu untuk kami. Setelah liputan terakhir
hari itu kami pun segera pulang ke hotel untuk memenuhi undangan pemilik hotel.
Dan benar saja di sebuah saung yang terdapat disana sudah disediakan berbagai
macam makanan. Mulai dari hidangan laut, hingga makanan khas Maluku yaitu
Papeda dan ikan kuah kuning.
Bisa dibilang
berkumpul dan bernyanyi merupakan kegiatan kesukaan masyarakat Maluku. Selain
aku dan tim yang berada disana malam itu, pemilik hotel juga mengundang
beberapa orang teman-temannya termasuk pak Yanes. Setelah selesai makan malam,
tak lama mereka pun mengambil gitar dan mulai bernyanyi. Suara mereka
benar-benar bagus dan merdu. Tak heran Glenn Fredly sang penyanyi terkenal
Indonesia memiliki suara seindah itu, karena memang ternyata daerah
kelahirannya terkenal akan orang-orang bersuara merdu. Kebanyakan mereka
menyanyikan lagu-lagu Ambon, walau aku tak mengerti namun aku sangat menikmati.
Melalui lagu-lagu berbagi tawa berbagi kisah. Malam semakin larut, lagu-lagu
dinyanyikan namun suasana seketika berubah syahdu ketika pak Yanes menyanyikan
lagu Maluku Tanah Pusaka
Maluku Tanah Pusaka
Maluku Tanah
Pusaka
Nyong Ambon
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Sio maluku tampa beta putus pusa e
paser putih aluse gunung deng tanjong
beta seng lupa e
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
nusa ina
itu tanah asal ee
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise
gandong E
Nyong Ambon
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Sio maluku tampa beta putus pusa e
paser putih aluse gunung deng tanjong
beta seng lupa e
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
nusa ina
katong samua dari sana
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara
biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka
nusa ina
itu tanah asal ee
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise
gandong E
“Dari ujung
Halmahera hingga Tenggara jau katong samua basudara”....itulah bagian lirik
yang menyentuh hatiku dan hingga kini selalu terngiang-ngiang dalam benakku.
Untukku lagu itu mengingatkan kita bahwa apapun latar belakang suku, budaya,
dan agama, kita semua tetap bersaudara. Terimakasih atas segala keramahanmu hai
Negeri Rempah, kehangatanmu membuatku berjanji untuk datang kembali dan
mengenalmu.
No comments:
Post a Comment