Sunday, August 17, 2014

KEHANGATAN NEGERI REMPAH


Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 69...maaf saya sebagai anak bangsa belum bisa membalas jasa...yang bisa saya lakukan hanya berbagi kisah tentangmu Indonesia. Dan Ini kisah saya mengenai perjalanan saya ke Ambon.

Rasanya belum hilang dari ingatan tragedi kerusuhan Ambon pada rentang waktu tahun 1998 hingga 2000. Walau aku tak mengalaminya langsung. Namun berbagai macam pemberitaan media massa pada waktu itu, menimbulkan kengerian bagi siapa saja yang mengikuti pemberitaannya. Bagaimana tidak, bayangkan saja puluhan hingga ratusan korban yang tewas, ditambah terbakarnya rumah-rumah dan tempat ibadah, darah tergenang di jalanan kota, jerit dan tangis terdengar setiap harinya. Berharap besok masih ada nyawa, berharap besok mimpi buruk ini berakhir.

Was-was, sedikit bingung, tak terbayangkan apa yang akan aku temui ketika akhirnya pada tahun  2011 aku mendapat tugas liputan ke kota Ambon. Memang masa kelam itu sudah berakhir lama, tetapi tragedi tersebut masih membayangi. Dalam keadaan lelah dan mengantuk, aku dan tim akhirnya menjejakkan kaki di kota Ambon. Maklum saja kami mengambil penerbangan jam 1 pagi setelah sebelumnya tetap bekerja terlebih dahulu. Dalam keadaan seperti itu, jujur saja aku tidak begitu memperhatikan apa saja yang terdapat di kota ini, bahkan aku hanya menyadari bahwa penginapan kami berada di tepi pantai. Setelah berisitirahat dan cukup segar, kami langsung mengunjungi dua “landmark” Ambon yaitu Pintu kota dan Tugu Martha Christina Tiahahu disana pula kami menyaksikan tenggelamnya matahari. Sejauh ini aku mendapati kota yang damai dan normal, tidak seperti bayanganku sebelumnya. Malam itu aku lebih memilih istirahat karena esok kami harus bangun pagi sekali.

Ketika pagi tiba, setelah cuci muka dan gosok gigi aku pun mencari teman-temanku karena biasanya mereka mengambil gambar matahari terbit. Setelah menyusuri pantai tidak juga aku menemukan mereka. Hanya ada seorang tukang sapu yang sedang membersihkan halaman hotel dari daun-daun yang berjatuhan. Aku pun mengarah ke kamar temanku yang kebetulan searah dengan halaman hotel. Lalu ketika aku mendekat tukang sapu itu tiba-tiba menyapaku
“Selamat pagi nona”,
 “Selamat pagi” jawabku.
“Maaf bolehkah saya membersihkan sampah kulit duren di kamar sana?” menunjuk ke arah kamar temanku yang nampaknya semalam mengadakan pesta duren.
“Oh iya silahkan saja”
“Saya daritadi sudah ingin membersihkan, tetapi tak enak kalau tidak izin dulu, takut mengganggu”
“Oh tidak apa-apa pak”
“Terimakasih banyak” ujarnya lagi
“Justru saya yang harus terimakasih”

Iapun segera beranjak ke arah beranda kamar temanku dan membersihkan sampah kulit duren. sudah lama rasanya aku tidak menemukan orang seramah dan sesopan bapak tadi.
Hari itu kami pergi ke benteng Amsterdam, tidak ada tarif khusus untuk masuk kesana, kami hanya dikenakan biaya donasi untuk pemeliharaan gedung. Di dalamnya tak ada hal yang istimewa karena gedung itu kosong, tanpa ada barang-barang historis seperti pada umumnya sebuah museum. Gedung itu sendiri terdiri dari 3 lantai. Lantai pertama tidak ada hal yang menarik perhatian kami kecuali plakat tentang sejarah pembangunan benteng Amsterdam. Namun ketika di lantai 2 dan 3 barulah kami menemukan hal istimewa yang berupa jendela-jendela yang langsung menghadap ke laut yang biru dimana dapat terlihat pulau seram.

Lokasi benteng Amsterdam berada di desa Hila, dimana disana pula terdapat gereja tertua. Melihat gereja tua yang terkunci dan sunyi kami sedikit kebingungan. Namun tak lama ada sekelompok ibu-ibu di seberang gereja yang memanggil kami dan menanyakan maksud kami kesana. Setelah menjelaskan tujuan kami, tanpa diminta salah satu ibu bercerita tentang kerusuhan ambon yang terjadi pada akhir tahun 1998. Gereja termasuk korban dalam kerusuhan tersebut, ternyata bangunan yang ada di hadapan kami bukan bangunan asli karena bangunan aslinya telah habis dibakar pada saat kerusuhan. Kejadian itu sangat disayangkan oleh bu acha, salah satu ibu yang kami ajak ngobrol, beliau berkata “bangunan itu tak bersalah kenapa harus diapa-apakan” walau bangunan ini digunakan oleh umat kristiani namun bangunan ini dijaga oleh umat islam yang tinggal di sekitarnya. Setelah mendapatkan cukup gambar untuk bahan liputan, kami pun beranjak dari sana.

Kami pun pergi ke desa Kaitetu yang jaraknya hanya sekitar 15 menit dari desa Hila. Disanalah terdapat mesjid tertua di Ambon. Melihat jarak desa yang berdekatan ini seolah menggugurkan rumor bahwa umat Islam dan Kristiani bermusuhan. Mesjid tua Wapauwe terletak di dalam perumahan penduduk. Posisinya berada rapat dengan rumah-rumah penduduk mengelilinginya, serta banyak pohon mangga tumbuh disekitarnya. Yang ternyata itulah asal usul nama Mesjid Wapauwe, yang berarti pohon mangga hutan dalam bahasa Kaitetu.

Saat itu aku hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Sehingga aku tidak berani masuk ke dalam Masjid, hanya mengamati dari luar sembari mencatat sejarah mesjid Wapauwe yang terpampang besar di samping masjid. Tiba-tiba ada seorang ibu yang berteriak memanggilku, beliau menyuruhku untuk duduk bersamanya di teras rumahnya. Setelah memperkenalkan diri dan maksud kami datang ke Ambon, dia memintaku untuk memberitakan bahwa tidak ada masalah antara umat Islam dan Kristiani di Ambon. Lalu ia pun bercerita sambil matanya menerawang, dulu sebelum kerusuhan terjadi umat kristiani dan muslim hidup berdampingan dan saling membantu. Setiap hari-hari besar keagaaman mereka selalu bergotong royong dan menghormati satu sama lain. Entah darimana dan bagaimana kerusuhan dimulai, yang meraka tahu dan mereka yakini bahwa siapapun yang memulai isu yang memecahkan kerukunan beragama disana, bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari luar Maluku, bukan penduduk asli. Ketika peristiwa itu terjadi, orang saling membunuh dan memburu, namun sesama umat muslim dan kristiani disana saling membantu dan memberikan perlindungan kepada siapapun yang membutuhkan. Akan tetapi mereka yang dahulu bertetangga, akibat peristiwa tersebut menjadi berpisah jarak. Keinganan ibu itu sederhana beliau hanya ingin Ambon kembali damai seperti sedia kala.

Ketika beliau bercerita, tanpa sadar para tetangga pun ikut berkumpul disana dan saling menimpali cerita. Kami mengobrol banyak termasuk berkisah tentang keajaiban mesjid tua yang terletak persis di sebelah rumahnya. Beliau pun menanyakan apa aku sudah sembahyang, dan kujawab belum. Beliau berkata bahwa aku harus merasakan sholat di mesjid tertua tersebut, karena sayang sekali sudah jauh-jauh datang tapi tak sholat disana. Lalu dengan sungkan mengatakan bahwa saya malu baju saya tak pantas masuk mesjid. Ibu itu pun meminta teman-temannya agar membantu saya. Kedua ibu yang lain membantu saya mengambilkan mukena dari dalam mesjid, agar saya bisa langsung mengenakannya begitu saya selesai mengambil air wudhu di luar mesjid. Untuk saya Mesjid ini memang sederhana namun membawa kenyamanan dan ketenangan beribadah di dalamnya, bersyukur saya diberi kesempatan untuk melaksanakan sholat disini. Kedua ibu tadi menunggu dengan sabar hingga saya menyelesaikan sholat saya, dan kemudian mereka menunjukkan bagian-bagian penting dari mesjid. Mesjid yang dibangun pada tahun 1414, mempunyai keunikan tersendiri yaitu dibangun tanpa menggunakan paku satu pun. Selain itu pula disini terdapat mushaf Al-Quran tertua di Indonesia, yang ditulis  tangan oleh Muhammad Arikulapessy imam pertama masjid Wapauwe. Menjadi suatu kebiasaan disini, jika ingin berpergian jauh, mereka datang ke Mesjid Wapauwe dan menunaikan ibadah dulu disini untuk berdoa mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT. Dengan berbagai keunikannya tak heran mesjid ini menjadi kebanggaan umat muslim Ambon. Hingga kami pergi dari sana kami terus ditemani oleh warga desa Kaitetu, dan tak lupa senyuman dan lambaian tangan mereka berikan, mengiringi kepergian kami.

Maluku kaya akan berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah, itu pula yang menyebabkan bangsa asing datang kesini, yaitu untuk menguasai rempah-rempah sehingga dapat meraih untung dan mengendalikan perdagangan dunia. Jadi tak sempurna rasanya jika datang ke Ambon tanpa napak tilas sejarah para pahlawan, khususnya kisah keberanian Thomas Matulessy dalam melawan penjajah, beliau juga dikenal dengan julukan Kapitan Patimura. Pulau Saparua adalah tujuan kami selanjutnya. Sebelum pergi pemilik hotel memastikan apa kami sudah ada orang untuk menemani. Walau memang sudah ada orang yang aku hubungi untuk menemani, tapi membuatku bertanya ada apa gerangan. Ternyata belum lama ini terjadi  bentrokkan antar desa di Pulau Saparua dan dikhawatirkan keadaan masih tegang, sehingga diperlukan pendamping untuk menemani kami. Tak lama pak Johanis atau kami memanggilnya pak Yanes datang, beliau berperawakan mungil dan berusia lebih kurang 50 tahun. Setelah melihat kedatangan beliau, pemilik hotel pun lega dan meyakinkan bahwa bersama pak Yanes semuanya aman.

Dari pelabuhan Leihitu kami mengambil kapal cepat untuk sampai ke Saparua. Satu hal yang saya perhatikan tentang pak Yanes, beliau disegani banyak orang. Di setiap pelabuhan manapun biasanya para calon penumpang diserbu calo tiket ataupun portir yang berebutan mengangkut barang, dimana keadaan tersebut selalu membuatku risih dan harus ekstra waspada. Namun begitu mereka melihat kami bersama Pak Yanes, mereka semua langsung pergi menjauh, tanpa pak Yanes mengucapkan kata sepatah pun.

Setelah satu jam perjalanan akhirnya kapal kami hampir tiba di Pulau Saparua, yang ditandai terlihatnya salib besar yang terletak di pinggiran pulau Saparua, seolah menyambut para pengunjung. Dan lagi-lagi ketika sampai kami pun diserbu oleh para supir angkutan umum, yang tentu saja segera bubar ketika melihat pak Yanes. Kami pun menyewa salah satu mobil angkutan umum untuk mengantar kami ke desa Porto dan desa Haria. Di desa Portolah terletak gereja tua Irine, dimana disanalah berdiri salib besar yang tadi terlihat dari kejauhan. Sebelum memasuki desa Porto, pak Yanes mengajak kami untuk ke rumah Kepala Desa terlebih dahulu untuk mendapatkan izin. Ternyata kami hanya bertegur sapa dan izin sekedarnya. Pak Yanes berkata bahwa sebenarnya bisa-bisa saja langsung masuk ke gereja Irine tetapi sopan santun dan kekerabatan harus tetap dijaga. Aku pribadi sangat menyetujui hal itu.

Setelah mengambil gambar dan berbagai keterangan tentang gereja Irine. Kami pun beristirahat sejenak di salah satu warung di seberang gereja, karena hari itu panasnya begitu terik. Warung ini menurutku sangat manis, mengingatkankku pada film-film lama. Warung ini merupakan bagian kecil dari rumah kayu berwarna kuning, dimana di pekarangannya terdapat berbagai tanaman dan bunga warna-warni, dan dikelilingi pagar kayu warna putih, walau tidak besar tetapi terasa manis sekali.

Walau kami hanya memesan minuman dingin, tetapi pemilik warung tidak berkeberatan sama sekali. Beliau pun ikut bercengkerama dengan kami. Walau beliau tidak mau bercerita banyak, syukurlah ternyata ketegangan antar desa  yang dikhawatirkan sebelumnya ternyata sudah berakhir.

Kemudian tibalah kami di Desa Haria. Kami berkunjung ke rumah Kapitan Pattimura. Rumah kecil ini ternyata menyimpan berbagai kisah tentang Kapitan Pattimura mulai dari asal-usul, silsilah, sejarah perjuangan hingga beberapa peninggalan beliau. Aku berharap bahwa ke depannya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada rumah bersejarah ini, yang mulai lapuk dimakan usia. Kemudian kami singgah di Wei Sisil, dimana daerah yang tenang dengan air laut jernih ini pernah menjadi lautan darah. Darah para penjajah yang mati ditangan para pejuang yang hanya bermodalkan bambu dan parang. Oleh karena itu disini terdapat tugu untuk menghormati jasa para pejuang.

Tak jauh dari sana terdapat benteng Duurstede, benteng yang terlihat sangat kokoh dari luar namun ternyata di dalamnya hanyalah puing-puing tersisa. Benteng ini juga merupakan lambang perlawanan rakyat saparua dalam melawan penjajah, tentu saja dibawah pimpinan Kapitan Pattimura. Dari pak Yanes kami juga mengetahui bahwa Pattimura, berasal dari kata Patti yang berarti Raja, sedangkan Murah berarti Sepenuh hati. Mengetahui berbagai perjuangan dan keberanian Thomas Matulessy demi kebebasan rakyat Maluku tak heran beliau mendapatkan julukan tersebut.

Hari sudah mulai sore, dan kami harus segera ke Pelabuhan jika ingin mengejar kapal untuk kembali. Selain berbagai kisah tentang keberanian para pahlawan maluku. Saya juga mempelajari satu hal, bahwa pribahasa jangan menilai buku dari sampulnya benar adanya. Itulah gambaran tentang sosok pak Yanes. Perawakannya yang kecil dan sedikit tua, tapi ternyata memliki berbagai kelebihan. Baru kali ini kami pergi dengan seseorang yang benar-benar mengetahui berbagai sejarah daerahnya, disegani banyak orang, serta sangat membantu kami dalam segala hal, sehingga pekerjaan kami pun terasa lebih mudah. Yang paling utama beliau pun tidak pamrih sama sekali.

Setelah menghabiskan waktu beberapa hari di Ambon, sudah saatnya kami pergi ke daerah lain. Tujuan kami berikutnya adalah Pulau Seram. Namun sebelum kami pergi dari kota Ambon, ternyata pemilik penginapan meminta kami untuk makan malam di Hotel karena mereka telah menyiapkan sesuatu untuk kami. Setelah liputan terakhir hari itu kami pun segera pulang ke hotel untuk memenuhi undangan pemilik hotel. Dan benar saja di sebuah saung yang terdapat disana sudah disediakan berbagai macam makanan. Mulai dari hidangan laut, hingga makanan khas Maluku yaitu Papeda dan ikan kuah kuning.

Bisa dibilang berkumpul dan bernyanyi merupakan kegiatan kesukaan masyarakat Maluku. Selain aku dan tim yang berada disana malam itu, pemilik hotel juga mengundang beberapa orang teman-temannya termasuk pak Yanes. Setelah selesai makan malam, tak lama mereka pun mengambil gitar dan mulai bernyanyi. Suara mereka benar-benar bagus dan merdu. Tak heran Glenn Fredly sang penyanyi terkenal Indonesia memiliki suara seindah itu, karena memang ternyata daerah kelahirannya terkenal akan orang-orang bersuara merdu. Kebanyakan mereka menyanyikan lagu-lagu Ambon, walau aku tak mengerti namun aku sangat menikmati. Melalui lagu-lagu berbagi tawa berbagi kisah. Malam semakin larut, lagu-lagu dinyanyikan namun suasana seketika berubah syahdu ketika pak Yanes menyanyikan lagu  Maluku Tanah Pusaka

Maluku Tanah Pusaka
Maluku Tanah Pusaka
Nyong Ambon

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..

Sio maluku tampa beta putus pusa e
paser putih aluse gunung deng tanjong 
beta seng lupa e

ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

nusa ina 
katong samua dari sana

biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..

ina ama lama lawang seng bakudapa e
sio biar jauh baini e
tapi dekat di hati beta e

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

nusa ina 
katong samua dari sana

biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..

Dari ujung Halmahera
Sampai tenggara jau
katong samua basudara

biar jauh bagini e
beta seng bisa lupa
maluku tanah pusaka

nusa ina
itu tanah asal ee

satu nama satu gandong
satu suku maluku manise, ..
satu nama satu gandong
satu suku maluku manise
gandong E

“Dari ujung Halmahera hingga Tenggara jau katong samua basudara”....itulah bagian lirik yang menyentuh hatiku dan hingga kini selalu terngiang-ngiang dalam benakku. Untukku lagu itu mengingatkan kita bahwa apapun latar belakang suku, budaya, dan agama, kita semua tetap bersaudara. Terimakasih atas segala keramahanmu hai Negeri Rempah, kehangatanmu membuatku berjanji untuk datang kembali dan mengenalmu.

No comments:

Post a Comment